Efek Proses Pembusukan Jenasah terhadap Kualitas DNA Melalui Pemeriksaan STR-CODIS

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi identifikasi jenasah melalui DNA. (Sumber: CNN Indonesia)

Identifikasi melalui metode analisis DNA merupakan alat diagnostik yang akurat dan stabil. Informasi genetik individual mempunyai persamaan untuk keseluruhan selnya dan akan tetap tidak berubah sekalipun sudah meninggal.

Dalam perkembangannya pemeriksaan dengan menggunakan metode analisis DNA ini bukannya tanpa kendala. Salah satu kendala yang seringkali menjadi masalah yang serius baik bagi ahli DNA forensik maupun ahli DNA lainnya adalah kondisi DNA yang tergedradasi atau yang dikenal dengan istilah degraded DNA.

Jaringan otot merupakan organ yang memiliki kandungan sel yang cukup banyak sehingga terdapat DNA dalam inti sel. Jaringan otot manusia diperkirakan setengah dari berat tubuh manusia yang mencapai lebih dari 600 jenis. Salah satu jenis otot yang sering digunakan/rekomendasi dalam sampling analisis DNA yakni otot psoas dan otot masestter. Otot psoas merupakan otot yang terletak pada formasi bagian bawah dinding perut atau dinding abdominal posterior. Jaringan otot psoas terletak di belakang diafragma, berhubungan dengan quadratus lumbrorum yang didalamnya terdapat arteri, vena dan kelanjar limfe. Sedangkan otot masetter yang merupakan otot pengunyah dengan model serat vertical sehingga akan memeperkuat arah gerakan gigitan/mengunyah ( Smeltzer and Bare, 2001).

Pembusukan (dekomposisi) pada jenazah  yang merupakan salah satu kendala dalam metode analisis DNA tersebut. Meski degraded DNA dianggap sebagai sebagai sebuah hal yang menakutkan bagi ahli DNA forensik,  para ahli DNA forensik berusaha mengatasi keadaan tersebut dengan mengadakan riset atau penelitian untuk menciptakan cara pemeriksaan DNA yang pada kondisi tertentu, masih dapat digunakan. Sejauh ini efek proses pembusukan jenasah terhadap kualitas DNA yang mengalami fragmentasi dalam pemeriksaan identifikasi forensik belum banyak diketahui

Metode dan Hasil

Jenis Penelitian yakni eksperimental laboratorik dengan rancangan penelitian   time series. Sampel penelitian  yakni  DNA yang berasal dari otot psoas dan otot masetter dari jenasah. Jenasah yang digunakan yakni berstatus tidak teridentifikasi dalam 2x24jam [sesuai pasal 133[3] KUHAP].  Otot psoas dan otot masetter masing-masing dilakukan penyimpanan dalam tanah, air laut/asin, air sungai/tawar dalam waktu 1 hari, 7 hari, 14 hari, 20 hari dan 40 hari. Besar sampel 24 sampel otot psoas dan 24 sampel otot masester.

Hasil ekstraksi/isolasi DNA sampel mendapatkan kadar DNA sampel otot Psoas rerata kadar DNAnya yakni 572,89 ± 5,71 ug/ml dengan rerata kemurnian DNA sebesar 1,09 ± 0,21. Sedangkan sampel DNA dari otot Masetter menghasilkan rerata kadar DNAnya yakni 589,19 ± 5,58 ug/ml dengan rerata kemurnian DNAnya 1,29 ± 0,26. Kesemua rerata DNA sampel  masih berada pada kisaran minimal kadar DNA untuk DNA typing yakni 0,25 ng dengan kemurnian 1,8 – 2.

Dari hasil penelitian ini membuktikan adanya efek proses pembusukan terhadap kadar DNA yang terkandung. Hal tersebut terlihat dari hasil pengukuran kadar  DNA melalui UV spektrofotometer menunjukkan penurunan kadar pada sampel jaringan otot psoas yang terkubur di dalam tanah dan ditenggelamkan di dalam air laut tempat dari hari ke-1, 7 , 14 , 20 dan 40 terdapat adanya penurunan.

Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter, seperti parameter fisika yaitu suhu, kekeruhan, padatan terlarut, dan sebagainya, parameter kimia yaitu pH, oksigen terlarut, BOD, kadar logam, dan sebagainya dan parameter biologi yaitu keberadaan plankton dan bakteri. Hal tersebut didukung oleh hasil pengujian kandungan pH dan NaCl terhadap kedua media tersebut di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya menyatakan media air laut memiliki kadar NaCl yang cukup tinggi yakni 5,50 dan 1.652,93 mg/L, dibandingkan media tanah regosol memiliki kandungan pH di atas 7,00 yakni 8,75 dan NaCl 314,20 mg/L degradasi DNA pada jenasah dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu endogenous dan exogenous.

Faktor endogenous berasal pada sel sendiri, yang juga dikenal sebagai kerusakan spontan. Faktor exogenous berasal dari lingkungan. Perusakan postmortem pada tubuh manusia adalah proses yang sangat kompleks, dimulai dengan autolysis dan pembusukan serta diikuti oleh penguraian aerobik dan bakterial (pembusukan) dari bahan organik. Faktor lingkungan seperti halnya kelembaban serta temperature lingkungan sangatlah berpengaruh terhadap kondisi DNA yang digunakan sebagai bahan identifikasi DNA di bidang forensik, sebagaimana pada pemeriksaan DNA dibidang lainnya. Pada umumnya sampel-sampel forensik yang dilakukan emeriksaan DNA, 40% sudah mengalami degradasi atau kontaminasi, sehingga dengan analisis Short Tandem Repeat (STR) yang mempunyai core sequences kurang 1 kb (kilobase) sangat efektif dan nilai keberhasilannya cukup tinggi, terutama pada DNA yang mengalami degradasi akan terfragmented (terpotong-potong) dengan menghasilkan fragmen yang pendek-pendek.

Kadar DNA merupakan faktor penting dalam pemeriksaan analisis DNA terutama terhadap keberhasilan amplifikasi pada sampel-sampel DNA. Penurunan kadar DNA hinggá 1 ng berpotensi terhadap penurunan kemampuan deteksi STR hinggá 95%. Integritas DNA merupakan sebuah hal yang utama bagi pemeriksaan DNA forensik.  Hal ini mengandung pengertian bahwa meski pemeriksan kadar DNA yang diperoleh relatif tinggi, namun bila DNA telah mengalami fragmentasi atau degradasi , maka kadar DNA yang tinggi, menjadi sebuah hal yang kurang berarti.

Selain tergantung dari kadar DNA juga dibutuhkan kualitas DNA yang mencukupi yaitu DNA yang digunakan harus dalam kondisi terdegradasi seminimal mungkin. Apabila DNA mengalami kondisi terdegradasi parah, maka mengakibatkan primer tidak dapat menempel pada DNA target yang akan digandakan.

Berkaitan keberhasilan lokus terdeteksi dalam penelitian ini, diakibatkan adanya perbedaan produk amplifikasi dan adanya GC content atau ikatan guanine dan cytosine pada masing-masing lokus. Menurut Bartlett dan Stirling (2003) serta muladno (2002) yang menyatakan bahwa GC content atau ikatan guanine cutosin memiliki tingkat kestabilan yang tinggi terhadap factor denaturasi dibandingkan dengan ikatan anatara Adenine dan Thymine.

Pola pemetaan urutan keberhasilan dari lokus STR adalah TPOX , THO1 dan CSF1PO. Hal ini sesuai dengan rasio GC conten masing-masing. Hal ini sesuai dengan perhitungan rasio GC content THO1 dan TPOX memiliki nilai relative sama yakni 0,48, jika dibandingkan dengan CSF1PO yakni 0,33.

Penulis : Ahmad Yudianto

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di :

https://www.scimagojr.com/journalsearch.php?q=19700174971&tip=sid&clean=0

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).