Hubungan Status Imunisasi Anak dan Tinggi Ibu dengan Kejadian Stunting

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh sehatq.com

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak yang disebabkan oleh asupan energi yang tidak mencukupi dalam jangka panjang dan infeksi berulang dalam 1000 hari pertama kehidupan. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan stunting adalah kondisi pada balita yang memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang dari standar pertumbuhan balita yang ditetapkan oleh WHO. Indonesia menempati urutan kelima sebagai negara dengan jumlah anak yang stunting di dunia, dan nomor dua kawasan Asia Tenggara setelah Laos. Prevelensi stunting di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 1,6% dalam tiga tahun yaitu dari 35,60% pada tahun 2010 menjadi 37,20% pada tahun 2013 berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas). Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia dan beberapa provinsi juga memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi nasional.

Badan kesehtan dunia (World Health Organization-WHO) menggolongkan penyebab stunting menjadi beberapa faktor, diantaranya faktor keluarga dan rumah tangga, faktor pemberian makanan pendamping yang tidak adekuat, faktor yang berkaitan dengan proses menyusui, dan faktor infeksi yang berkaitan dengan terjadinya stunting pada anak. Faktor-faktor tersebut juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berdampak secara tidak langsung, seperti ekonomi, sosio-kultural, dan lingkungan. Faktor yang disebutkan dapat saling mempengarusi dalam interaksi yang kompleks antara kondisi rumah tangga, lingkungan sosioekonomi, dan pengaruh budaya dalam penyebab terjadinya stunting pada anak.

Stunting yang terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan dapat menghambat tumbuh kembang anak. Kegagalan pertumbuhan pada anak tidak dapat diperbaiki dan nantinya dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan sumber daya manusia di masa depan. Efek jangka pendek dai stunting pada anak selain kegagalan pertumbuhan dan terhambatnya perkembangan, juga meningkatkan risiko untuk terinfeksi penyakit menular dan kematian dini. Sementara efek jangka panjang stunting dapat menyebabkan rendahnya produktivitas dan meningkatkan risiko terhadap penyakit kronis. Seacara tidak langsung, stunting dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, peningkatan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan di masa depan. Analisis data sekunder dengan desain penelitian potong lintang yang digunakan dalam peneltian ini menggunakan data yang bersumber dari hasil Indonesia Family Life Survey (IFLS) gelombang 5 yang dilakukan di 13 provinsi di Indonesia pada dari rahun 2014 hingga 2015. IFLS mengumpulkan data dari individu, rumah tangga, dan komunitas dengan menggunakan metode pengambilan sampel stratifikasi yang bertingkat (multistage stratified sampling). Variabel yang diobservasi dalam penelitian ini adalah kejadian stunting, jenis kelamin, usia anak, usia ibu, tinggi ibu, status imunisasi, riwayat infeksi, dan wilayah tempat tinggal. Data di cleaning dan dan analisis dengan menggunakan perangkat lunak STATA.

Sebanyak 1.048 anak 2-5 tahun masuk menjadi sampel dari penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi stunting sebesar 16,32%. Stunting paling banyak terjadi pada anak usia dua (17,65%) dan tiga tahun (17,48%). Jumlah anak laki-laki yang stunting lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Sebanyak 15,90% ibu dengan anak stunting berusia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 selama kehamilan. Jumlah anak stunting lebih tinggi di perkotaan (21,65%) dibandingkan di perdesaan. Jumlah anak yang tinggal di wilayah Jawa dan stunting lebih banyak (20,12%) dibandingkan anak yang tinggal di wilayah non-Jawa. Pada anak yang tidak diimunisasi lengkap persentase stunting lebih tinggi (22,54%) dibandingkan anak dengan staus imunisasi lengkap (13,82%). Perbedaan ini bermakna secara statistik (p=0,01).  Sebagian besar anak yang stunting memiliki ibu dengan tinggi badan kurang dari 150 cm (18,27%).  Pada 1.000 hari pertama kehidupan, anak memiliki risiko yang cukup signifikan untuk terinfeksi penyakit apabila asupan gizi yang didapat tidak memadai. Infeksi berulang pada anak dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak yang dapat mengakibatkan stunting. Anak dengan status imunisasi belum tuntas 1,78 kali lebih berisiko untuk mengalami stunting dibandingkan anak dengan status imunisasi lengkap. Vaksinasi berperan dalam menurunkan angka kematian anak dan anak yang mendapat vaksinasi memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami stunting. Vaksinasi yang dilakukan tepat waktu dapat mengurangi kemungkinan stunting pada anak-anak, sementara vaksinasi yang tertunda dapat meningkatkan kemungkinan stunting.

Sementara itu tinggi badan ibu merupakan suatu kondisi genetik yang dapat diwariskan oleh anak dan menentukan tinggi badannya kelak. Ibu pendek memiliki kemungkinan besar untuk melahirkan anak yang pendek di masa depan. Penelitian ini menunjukkan bahwa tinggi badan ibu berhubungan dengan stunting pada anak. Anak-anak dengan tinggi badan ibu kurang dari 150 cm berisiko 1,41 kali lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan anak-anak dengan ibu yang lebih tinggi. Anak-anak yang memiliki ibu dengan tinggi badan <145 cm cenderung mengalami stunting dibandingkan anak dengan tinggi badan ibu lebih tinggi. Oleh karena itu pemerintah perlu melakukan pencegahan dan intervensi pemberian gizi pada anak untuk menurunkan angka kejadian stunting di masa depan. Pemerintah perlu mengambil tindakan yang tepat untuk meningkatkan jumlah cakupan anak yang diimunisasi secara lengkap sebagai salah satu langkah untuk menurunkan angka kejadian stunting.

Penulis: Fajariyah, R.N, Hidajah, A.C

Informasi lebih lengkap dapat dilihat di:

Fajariyah, R., & Hidajah, A. (2020). CORRELATION BETWEEN IMMUNIZATION STATUS AND MOTHER’S HEIGHT, AND STUNTING IN CHILDREN 2–5 YEARS IN INDONESIA. Jurnal Berkala Epidemiologi, 8(1), 89-96. doi:http://dx.doi.org/10.20473/jbe.V8I12020.89-96

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).