Optimasi Metode Decolourising Semi-Refined Carrageenan Rumput Laut dengan Menggunakan Air Laut Salinitas Rendah

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Foto Bisnis

Kappaphycus alvarezii sebagai komoditi rumput laut yang mengandung sulphated-polysaccharide kappa-carrageenan mengalami peningkatan hasil budidayanya di Indonesia dan Philipina. Kappa-carrageenan digunakan sebagai thickener, emulsifier dan stabilizer dalam berbagai produk makanan dan pakan hewan. Berdasarkan kemurnian bahan yang dimiliki maka kappa-carrageenan dikelompokkan ke refined carrageenan (RC) dan semi-refined carrageenan (SRC) yang penggunaannya berdasar European Union Utilization Coding di beri kode E407 untuk RC dan E407a untuk SRC. Tahapan pemrosesan dan biaya produksi RC lebih lama dan mahal dibandingkan SRC yang merupakan produk menengah dengan perlakuan alkaline. Pada tahun 1970 an, kappa-carrageenan dan industry pakan hewan banyak menggunakan SRC karena lebih murah dan menggunakan tahapan produksi yang lebih mudah. SRC potensi digunakan dalam pengemasan produk utama makanan sehingga memberikan keuntungan ekonomis dan lingkungan.   

K. alvarezii kaya dengan dengan kandungan phycoerythrin, β-carotene, selulosa dan lignin. Namun, komponen tersebut mengalami eliminasi selama produksi kappa-carrageenan, khususnya selama proses decolourising.Proses eliminasi pigment dengan menggunakan bahan decolourising biasanya diaplikasikan untuk memproduksi decolourised kappa-carrageenan. Proses SRC dan RC pada rumput laut yang tidak menggunakan perlakuan decolourising membuat bau dan perubahan warna kuning pada produk sehingga membatasi untuk  penggunaan dalam produk makanan, pharmaceutical dan industry komestik.

Produksi SRC dan RC biasa menggunakan CaCO3 untuk decolourise rumput laut K. alvarezii dalam perlakuan pre-alkaline untuk mendapatkan decolourised rumput laut berkualitas. Sebelum proses perlakuan alkaline, rumput laut segar di rendam dalam CaCO3 untuk menghilangkan warna, bau dan kandungan garam. Namun CaCO3 diketahui juga dapat menyebabkan iritasi kulit dan kerusakan mata secara serius. Penggunaaan arang aktif sebagai alternative pengganti bahan decolourise yang ramah lingkungan namun pada volume arang aktif yang besar perlu dipertimbangkan dari nilai profi yang diberikan dan ketidakpraktisan penggunaannya. Hingga saat ini produksi SRC dengan sedikit atau tanpa bahan kimia menjadi hambatan bagi pembudidaya rumput laut dengan pendapatan rendah.

Decolourisation rumput laut secara alami bisa diakibatkan hujan dan limpahan air tawar dari sungai. Fenomena ini di duplikais dan di teliti dengan menggunakan synthetic low-salinity seawater (LSS). Melalui penelitian yang dilakukan diharapkan dapat di peroleh tehnik decolourising yang ramah lingkungan sehingga menghasilkan decolourised seaweed powder (DSP) menggunakan LSS dalam memproduksi SRC. Analisa warna mengindikasikan bahwa DSP secara significant berbeda nyata (P<0.05) pada perlakuan LSS berbeda dibandingkan dengan perlakuan CaCO3 dan bubuk rumput laut kering (tanpa perlakuan decolourising). Pada DSP, persentase tertinggi didapatkan pada perlakuan CaCO3 (50.17%) dan selanjutnya diikuti LSS (3, 9, dan 15 g/L dengan capaian persentase kehilangan warna 44.22, 40.13 dan 38.5%).

Hal ini mengindikasikan bahwa LSS 3 g/L menunjukkan metode yang efisien dalam decolourising rumput laut dan potensial untuk diterapkan karena berbiaya murah. Proses decolourising terdiri dari dua tahap yaitu penetrasi air pada membrane sel rumput laut selama proses perendaman, dan lanjutan decolourisation dengan proses dewatering menggunakan pengeringan sinar matahari. Perbedaan osmoticities antara pelarut (low-salinity seawater, LSS) dan membrane sel merusak lipoprotein membrane chloroplast, selanjutnya pigment berkurang saat air dengan salinitas rendah menembus membrane sel sehingga menyebabkan depigmentation atau decolourisation rumput laut. Pengeringan rumput laut menggunakan metode paparan sinar matahari menyebabkan perubahan warna dibandingkan metode pengeringan lainnya. Penambahan CaCO3 pada air akan membahayakan bagi pembudidaya rumput laut dan merusak lingkungan sehingga teknis LSS yang menghasilkan decolurised rumput laut lebih memiliki keunggulan karena aplikasinya ramah lingkungan dengan biaya murah, khususnya dapat diterapkan pada negara berpendapatan rendah dan menengah.

Secara fisik hasil ekstraksi SRC dari decoulirised seaweed powder (DSP) dibandingkan decolourised rumput laut dengan CaCO3 menunjukkan gel strengths yang hamper sama dan tidak menunjukkan perbedaan significant. Dalam studi yang dilakukan terlihat bahwa warna DSP menunjukkan hubungan dengan viscosity SRC (P<0.01). Produk SRC dengan perlakuan DSP pada LSS 3 g/L membuktikan nilai viscosity yang tinggi dibandingkan standard pasar 5 cP. Kenaikan konsentrasi salinitas air laut dalam proses decolourising tidak mempengaruhi kualitas SRC sehingga metode dengan LSS (3 g/L) dapat digunakan untuk menggantikan CaCO3 sebagai bahan decolourising. Kesimpulan tersebut juga di dukung dengan hasil yang di peroleh dari Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) dan X-ray diffraction (XRD). Sebaliknya penggunaan LSS dibandingkan CaCO3 juga akan mengurangi lepasnya pollutant kimia (CaCO3) di lingkungan sehingga metode decolourising menggunakan low-salinity seawater (LSS) memberikan keuntungan lebih baik dalam memproduksi semi-refined carrageenan (SRC).

Penulis: Prof. Mochammad Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D.

Link jurnal terkait tulisan di atas: Annur Ahadi Abdillah, Mochammad Amin Alamsjah, and Albert Linton Charles. 2020. An Optimized Low-Salinity Seawater Decolourising Method Produces Decolourised Seaweed (Kappaphycuz alvarezii) as Semi-Refined Carrageenan Raw Material. International Journal of Food Science and Technology. doi: 10.1111/ijfs.14856

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).