Menakar Penyebab Kandasnya Agenda Poros Maritim Dunia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Cita-cita poros maritim dunia menjadi gagasan strategis yang menggema begitu kuat dalam pemerintahan Joko Widodo di periode pertama. Agenda tersebut mencoba mewujudkan Indonesia sebagai axis dari aktivitas maritim global mengingat posisi geografis Indonesia yang berada di posisi silang antar dua benua dan samudra. Apabila tercapai, gagasan tersebut akan menjamin konektivitas antar pulau, sumber daya maritim, penegakan keamanan dan hukum laut, serta tentunya peran sentral Indonesia dalam aktivitas perdagangan internasional. 

Sayangnya, dalam periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, gagasan ini lambat laun semakin jarang terdengar gemanya. Hal tersebut yang membuat banyak ahli meyakini bahwa pemerintah telah mengalihkan fokus mereka dari gagasan strategis tersebut. Begitu pula dengan dosen Hubungan Internasional (HI) UNAIR Joko Susanto, S.IP., M.Sc. yang memandang agenda poros maritim dunia telah mengalami downfall.

“Awalnya doktrin ini mendapat respon yang sangat positif dari publik. Tapi mengikuti perkembangan yang ada, beberapa alasan yang membuat doktrin ini gagal. Apalagi diikuti dengan isu korupsi dan skandal dari kementerian terkait,” jelas Direktur Eksekutif Emerging Indonesia Project (EIP) tersebut.

Menurut Joko, masalah pertama yang muncul adalah keterbatasan struktural di balik inisiatif poros maritim dunia. Jika mengikuti teori Alfred Mahan mengenai geopolitik maritim, negara yang ingin memiliki kebijakan maritim yang kuat juga harus memiliki komitmen dan kebijakan yang kuat pula pada aspek ekonomi.

Sayangnya menurut data, Indonesia masih memiliki kuantitas ekspor yang rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia atau Thailand. Begitu pula dengan sektor perikanan dan kelautan yang masih minim. “Padahal kegiatan perdagangan itu menjadi salah satu aspek ekonomi yang akan sangat berperan dan menentukan keberhasilan kebijakan maritim,” imbuhnya.

Masalah kedua adalah keterbatasan geopolitik di mana posisi Indonesia masih lemah, khususnya dalam aspek infrastruktur dan pandangan politik dari masing-masing aktor. Pemerintah memiliki alokasi modal yang terbatas serta perbedaan point of view dalam usaha mewujudkan global maritime axis.

“Dibanding emerging country, Indonesia lebih tepat disebut sebagai big boy at the crossroads yang masih meraba-raba kekuatan dan posisi strategisnya. Presiden Jokowi akhirnya menyadari itu, dan belakangan mengubah kata axis yang bersifat lebih sentral dan luas menjadi kata fulcrum atau titik tumpuan,” jelasnya.

Masalah selanjutnya adalah keterbatasan dalam tradisi politik luar negeri Indonesia yang selama ini selalu berorientasi pada kawasan regional. Indonesia memiliki pengaruh yang kuat di ASEAN, namun kurang memiliki posisi kuat di antara negara besar dengan aktivitas ekonomi tinggi. Orientasi tersebut yang kemudian membuat Indonesia sulit untuk mengembangkan gagasan global maritime fulcrum.

“Gagasan poros maritim dunia harusnya lebih outward looking. Maka dari kawasan regional ASEAN hendaknya dipandang sebagai stepping stone untuk meraih pengaruh di tingkat internasional,” paparnya dalam webinar internasional Beyond Indonesia’s Global Maritime Fulcrum: Prospect and Challenges yang diadakan CSGS HI UNAIR.

Kandasnya agenda poros maritim dunia tersebut membuat Joko memandang bahwa satu-satunya harapan Indonesia untuk meraih pengaruh dalam geopolitik maritim adalah Visi Indonesia Maju yang dikampanyekan Presiden Joko Widodo pada periode kedua pemerintahannya.

Visi Indonesia Maju terlihat ingin berfokus pada konektivitas melalui revitalisasi struktur fundamental serta peningkatan ekspor dan ekonomi di tingkat global. Fokus tersebut dianggap menjadi jawaban atas missing link yang sebelumnya belum mampu diakomodasi pada pemerintahan terdahulu.

Namun harus diingat, masih ada tantangan besar untuk setidaknya mendekati cita-cita poros maritim dunia. Pemerintah harus mampu menggenjot blue economy, atau pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut untuk pembangunan ekonomi. Karena hingga kini penyumbang devisa terbesar masih didominasi sektor pariwisata yang notabene tidak terlalu berpengaruh pada pengembangan kebijakan maritim yang kuat.

“Selain itu, pemerintah juga harus berani mendobrak tradisi dan memilih langkah yang lebih berdampak. Entah melakukan diplomasi middle power maupun mulai lebih banyak bergerak di kawasan Indo-Pasifik. Hal itu tentunya juga harus diikuti dengan komitmen dan modal yang besar bagi terwujudnya visi tersebut,” tandasnya.

Penulis: Intang Arifia

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).