Alat Pendeteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Pasien Tuberkulosis Multidrug Resistant

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Klik Dokter

Gangguan pendengaran yang terjadi pada pasien tuberkulosis multidrug resistant (TB MDR) diduga karena efek injeksi kanamisin jangka panjang. Kanamisin diketahui menyebabkan kerusakan permanen dan sifat racun pada pendengaran (ototoksik). Gangguan pendengaran ini bersifat tetap atau bertahan bahkan setelah beberapa minggu dan bulan pemberian obat. Bahkan keruskannya dapat permanen dikarenakan matinya sel rambut pada telinga. Efek obat sejenis aminoglikosida ini mempengaruhi organ telinga yakni basis koklea dan kemudian secara progresif juga mempengaruhi puncak koklea. Hal ini menyebabkan munculnya gangguan pendengaran sensorineural (SNHL) dengan frekuensi tinggi di awal mula dan secara bertahap mempengaruhi frekuensi yang lebih rendah. Ototoksisitas bisa saja terjadi tanpa keluhan klinis pada beberapa minggu, bulan, atau tahun setelah berhenti atau menyelesaikan terapi.

Kerusakan pendengaran dapat diuji menggunakan beberapa alat seperti pure tone audiometry dan autoacoustic emission (OAE) yang terutama digunakan untuk mengevaluasi kerusakan fungsi sel rambut luar koklea. Pure tone audiometry dapat digunakan untuk memantau penurunan pendengaran setelah memantau efek ototoksisitas obat-obatan sejenis aminoglikosida. Ada variasi yang signifikan pada efek ototoksik yang dilaporkan para pengguna obat-obatan jenis aminoglikosida, sehingga perlu adanya pemeriksaan pendengaran yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini efek ototoksik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa distortion product otoacoustic emission (DPOAE) adalah alat pemantau yang mendeteksi ototoksisitas aminoglikosida dini lebih sensitif.

Penelitian terhadap hal ini dilakukan oleh Dr. Nyilo Purnami, dr., Sp.T.H.T.K.L (K), FICS dan rekannya,pada pasien TB MDR Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya pada bulan Juli hingga Oktober 2018. Sebanyak 15 pasien yang berpartisipasi pada penelitian ini, menerima injeksi kanamisin intramuskuler selama 4 minggu. Pasien yang dapat berpartisipasi juga tidak boleh memiliki gejala yang dapat menyebabkan disfungsi pendengaran (infeksi saluran napas akut, rinitis alergi, polip hidung), bekerja di lingkungan yang bising, audiometri nada murni menghasilkan tipe konduksi atau kelainan tipe campuran, mengonsumsi obat-obatan ototoxic dan menerima suntikan streptomisin (obat oral anti tubekulosis kategori 2). Hal ini dilakukan agar pasien yang dijadikan subjek penelitian mengalami gangguan pendengaran dikarenakan obat yang mereka konsumsi bukan dikarenakan faktor lain. Sehingga hasil yang didapatkan tidak menimbulkan bias.Kemudian dilakukan pemeriksaan pendengaran menggunakan DPOAE pada frekuensi 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz, 8000Hz, dan 10.000 Hz, juga menggunakan pure tone audiometry pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz, dan 8000 Hz.

Pada awal penelitian tidak ada pasien yang mengalami gangguan pendengaran, namun setelah 4 minggu ternyata terdapat ditemukan gangguan pendengaran. Setelah 4 minggu injeksi dengan obat kanamisin, terdapat 4 pasien yang terdeteksi kehilangan pendengaran menggunakan DPOAE. Penelitian terhadap hal ini juga menunjukkan bahwa DPOAEtidak memiliki guna yang bermakna sebagai alat skrining pada pasien yang telah kehilangan pendengaran setelah 4 minggu injeksi kanamisin. Berbeda dengan hasil analisis masing-masing frekuensi DPOAE, yang menujukkan bahwa frekuensi 10.000 Hz dapat mengidentifikasi gangguan atau penurunan pendengaran pada pasien 4 minggu injeksi kanamisin.

Begitupun dengan penggunaan pure tone audiometry yang secara statistik tidak menemukan perubahan yang bemakna pada audiometri yang digunakan sebagai alat skrining gangguan pendengaran pasca 4 minggu injeksi kanamisin. Analisis menggunakan masing-masing frekuensi pure tone audiometry juga tidak menunjukkan adanya perbedaan bermakna untuk frekuensi tertentu dapat dijadikan skrining penurunan pendengaran.

Dapat disimpulkan pemeriksaan menggunakan DPOAE dapat mendeteksi perubahan pada gangguan pendengaran pasien di 10.000 Hz, sedangkan menggunakan audiometri tidak dapat mendeteksi perubahan.Evaluasi pendengaran pada 4 minggu pengobatan MDR TB pada dasarnya belum dapat mendeteksi adanya gangguan pendengaran yang disebabkan oleh ototoksisitas obat MDR TB. Namun, dengan menggunakan DPOAE frekuensi tinggi dapat menjadi sarana untuk deteksi awal adanya gangguan pendengaran pada penderita MDR TB. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi bagi para klinisi khusunya di bidang THT untuk mengetahui pentingnya screening pada pasien MDRTB agar kualitas hidup yang menurun akibat gangguan pendengaran dapat dicegah.

Penulis: Dr. Nyilo Purnami, dr., Sp.THT-KL(K), FICS, FISCM

Link jurnal: Purnami N, Brahmono A, Surarso B. 2018. Auditory Evaluation with Pure Tone Audiometry and DPOAE in Kanamycin Treatment of Multidrug Resistant Tuberculosis http://medicopublication.com/index.php/ijphrd/article/view/920

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).