Terapi Farmakologi Nyeri pada Amyotrophic Lateral Sclerosis

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh SehatQ

Amyotrophic lateral sclerosis (ALS), penyakit motor neuron, merupakan penyakit neurodegeneratif yang fatal. Nyeri merupakan gangguan sensoris yang dapat timbul pada ALS.  Sampai saat ini, terapi nyeri hanya didasarkan pada pengalaman klinisi dan belum terdapat tata laksana nyeri yang terstandarisasi untuk pasien ALS. Tulisan ini menjelaskan tentang terapi nyeri pada ALS. ALS ditandai oleh gejala degenerasi dari upper motor neuron (UMN) dengan manifestasi klinis spastisitas dan refleks berlebihan di korteks motor serta lower motor neuron (LMN) dengan manifestasi klinis atrofi, kelemahan dan fasikulasi otot di sumsum tulang dan batang otak. Berbagai manifestasi ini akan menyebabkan paresis yang berpengaruh terhadap mobilitas, aktivitas sehari-hari, fungsi komunikasi, menelan, dan pernafasan pasien. 

Nyeri merupakan komplikasi gangguan sensoris pada ALS. Pada beberapa studi cross-sectional, dilaporkan sebesar 51–72% pasien ALS mengalami nyeri. Sebanyak 25% pasien ALS pada sebuah case-control study mengalami nyeri sebelum diagnosis ALS ditegakkan dengan tingkat sedang hingga berat. Gejala nyeri seringkali diremehkan dan diabaikan pada pasien ALS. Gambaran klinis nyeri pada ALS antara lain: kram, spastisitas dan nyeri musculoskeletal. Kram disertai nyeri pada kaki dan tangan seringkali muncul pada onset awal munculnya ALS. Terapi farmakologi sampai saat ini hanya didasarkan pada pengalaman klinisi, sehingga tata laksana terapi, metode diagnosis dan mekanisme yang mendasari timbulnya nyeri pada ALS belum sepenuhnya terstandarisasi. Tata laksana nyeri pada ALS harus didasarkan pada penyebab utama timbulnya nyeri. 

Terapi kram pada ALS sebagian besar masih berdasarkan data empiris dan tidak didukung dengan data yang sistematik. Levetirasetam merupakan terapi yang telahdirekomendasikan EFNS sebagai lini pertama (level A) untuk mengatasi kram pada ALS. Efektivitas levetirasetam pada kram pada pasien ALS telah dilaporkan dalam uji klinis, namun hasil ini terbatas pada non controlled dan openlabel study. Quinin sulfat juga merupakan salah satu obat yang sering digunakan oleh Prancis untuk terapi kram pada ALS, namun FDA telah mengeluarkan himbauan terkait keamanan penggunaan quinin sulfat yang hanya terbatas pada terapi untuk malaria dan tidak untuk terapi atau pencegahan pada kram. Efikasi yang superior dari quinin sulfat dibandingkan dengan plasebo atau intervensi lainnya telah diulas dalam review Cochrane, namun tidak spesifik untuk kram pada ALS. Review tersebut menunjukkan bahwa quinin (200–500 mg/hari) dapat menurunkan frekuensi dan intensitas kram jika dibandingkan dengan plasebo. Evidence dari single trial hanya menunjukkan jika teofilin dikombinasikan dengan quinin dapat memperbaiki kram jika dibandingkan quinin tunggal. Low quality evidence menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara quinin dan vitamin E, quinin kombinasi dengan vitamin E atau injeksi xylocaine. Efek samping yang major dilaporkan jarang terjadi namun dapat bersifat fatal sehingga beberapa negara membatasi penggunaan quinin. Meskipun memiliki potensi efektif, penggunaan quinin sulfat untuk terapi kram otot harus dihindari selain karena efek sampingnya juga karena belum adanya evidence yang cukup untuk penggunaan yang spesifik untuk kram pada ALS. Quinin sulfat dapat dipertimbangkan untuk diberikan dalam kondisi kram sangat melumpuhkan, penggunaan levetirasetam tidak memberikan efek yang adekuat dan adanya pemantauan efek samping yang ketat. 

Sama seperti terapi untuk kram otot, sampai saat ini belum terdapat studi terkontrol yang dilakukan untuk melihat efikasi terapi spastisitas pada ALS. Terapi hanya berdasar pada benefit obat pada penyakit lain yang berhubungan dengan spastisitas atau pada studi yang tersedia, namun dengan desain open label yang menggunakan baklofen (PO dan IT), tizanidin, benzodiazepine, toksin botulinum, dantrolen dan levetiracetam. Tidak ada satupun studi yang secara spesifik membahas tentang ALS tetapi lebih pada penyakit lain yang berhubungan dengan spastisitas yaitu multiple sclerosis dan cerebral palsy. Kebanyakan klinisi dari Itali menggunakan baclofen yang diikuti dengan tizanidin, benzodiazepin dan dantrolen, sedangkan pada sebuah survei yang dilakukan di Eropa, dilaporkan bahwa carbamazepin paling banyak digunakan. 

Pemberian baclofen IT dapat menjadi pertimbangan untuk diberikan jika baklofen oral tidak memberikan efek yang adekuat. Pada sebuah case series yang dilakukan oleh McClelland, sebanyak 8 pasien ALS dengan spastisitas berat dan nyeri diterapi dengan baclofen IT. Setelah pemberian baklofen IT, diketahui terjadi penurunan nyeri dengan rata-rata 54%. Sebanyak enam pasien (75%) mengalami penurunan skala nyeri, tiga di antaranya menggunakan analgesik. Guideline AAN dan EFNS memberikan rekomendasi standar penggunaan analgesik untuk nyeri muskuloskeletal dan sendi dapat mengikuti WHO pain ladder, hal ini karena belum adanya protokol spesifik nyeri untuk ALS sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut dalam hal ini. Manajemen nyeri yang tepat pada ALS harus melibatkan pendekatan multidisiplin, karena pasien-pasien ALS dapat mengalami nyeri akibat gambaran klinis yang berbeda-beda, yaitu kram otot, spastisitas dan nyeri muskuloskeletal. Meskipun nyeri merupakan gejala yang penting pada terapi palliatif, namun studi-studi sistematik terkait terapi nyeri padaALS belum banyak dilakukan, sehingga praktek klinis masih bergantung pada pengalaman dan preferensi pribadi klinisi dan bukan pada pendekatan yang sistematis. 

Penelitian lebih lanjut terkait efikasi terapi nyeri pada ALS. Berdasarkan hasil penelusuran pada guideline dan evidence yang ada, didapatkan bahwa rekomendasi lini pertama untuk nyeri akibat kram otot dapat digunakan levetirasetam, sedangkan baklofen merupakan lini pertama untuk nyeri akibat spastisitas, dan lini pertama untuk nyeri sendi dan muskuloskeletal adalah asetaminofen atau NSAID. Terbatasnya evidence terkait terapi nyeri pada ALS menyebabkan pemberian terapi tidak dilakukan berdasarkan pendekatan sistematis, sehingga dibutuhkan studi lebih lanjut terkait efikasi dari terapi nyeri ALS.

Penulis: Indira D. Mahdayana, Hanik B. Hidayati

Detail tulisan lengkap dapat dilihat: Mahdayana, ID., Hidayati HB. Terapi Farmakologi Nyeri pada Amyotrophic Lateral Sclerosis. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia; 2020: Volume 9, Nomor 4.Link: http://jurnal.unpad.ac.id/ijcp/article/view/26503

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).