Tantangan Diagnostik Infeksi Laten Tuberkulosis untuk Indonesia Bebas Tuberkulosis Tahun 2050

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh RS Keramat 128

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sebenarnya TB adalah penyakit infeksi yang dapat dicegah dan diobati, namun keterlambatan diagnosis dan terapi yang tidak adekwat menyebabkan makin meningkatnya angka keparahan dan kematian karena penyakit ini sebagaimana juga resiko penularan dan angka resistensi obat.  Menurut laporan WHO tahun 2019 ada lebih dari 10.000.000 orang di seluruh dunia yang menderita tuberkulosis, 1.500.000 orang yang meninggal karena tuberkulosis dan 484.000 orang yang menderita tuberkulosis resisten obat (“multidrug resistant tuberculosis”) pada tahun 2018. Sedangkan data dari Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) per tanggal 24 April 2020 menunjukkan terdapat kurang lebih 845.000 kasus tuberkulosis di Indonesia, 11.463 kasus TB yang ternotifikasi TB Resisten Rifampicin (TB RR) atau Multidrug Resistant (MDR), 11.552 kasus TB dengan koinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan perkiraan terdapat 98.000 kematian akibat TB. 

Masalah Infeksi Laten Tuberkulosis (“Latent Tuberculosis Infection”/LTBI) juga makin meningkat di berbagai negara terutama di negara-negara dengan angka kejadian tuberkulosis yang tinggi seperti di Indonesia. WHO memperkirakan ada 25% penduduk dunia yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis secara laten. Meskipun tidak semua penderita LTBI akan menjadi tuberkulosis aktif, namun bila tidak diobati dan tidak ditangani dengan tepat, dapat berpotensi menjadi sumber penularan dan dapat meningkatkan kasus tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis lini pertama. Inilah yang menjadi penyebab mengapa diagnosis dan terapi LTBI pada populasi resiko tinggi dianggap sebagai salah satu komponen kunci oleh WHO dalam programnya untuk mengeliminasi TB dari dunia (“End TB Strategy”). 

Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab dari infeksi tuberkulosis adalah suatu bakteri yang dapat tetap hidup dan berkembang biak di dalam sel inang (“intracellular pathogen”) termasuk di dalam sel makrofag inang. Berbagai faktor inang terlibat dalam mengeliminasi bakteri ini dari tubuh inang, yaitu antara lain dengan melalui imunitas seluler inang. Namun bakteri ini juga dapat melibatkan inang untuk menjaga kelangsungan hidupnya, yaitu dengan melalui ekspresi suatu protein Tryptophan Aspartate Coat Protein (TACO) yang berperan penting dalam menghambat fusi dari fagosom dengan lisosom sehingga tidak terjadi penghancuran bakteri ini ketika berada di dalam sel makrofag inang. Peneliti yang terdahulu telah membuktikan bahwa fagosom yang berisi Mycobacterium bovis yang mati akan cepat sekali dieliminasi dari makrofag sedangkan fagosom yang berisi  Mycobacterium bovis yang hidup akan lebih stabil tetap berada di dalam makrofag karena kemampuannya dalam menginduksi dan mempertahankan ekspresi TACO. Adapula peneliti  yang menyatakan  bahwa bakteri Mycobacterium bovis yang digunakan dalam vaksin BCG, yang berupa bakteri yang telah dilemahkan, akan dicerna dan dieliminasi dengan sempurna dalam sel Kupffer sebagai sel makrofag di jaringan organ hepar, yang dinyatakan ekspresi TACO nya sangat kurang. Peneliti lain juga mengamati bahwa penghambatan dari ekspresi gen TACO ternyata mempengaruhi kelangsungan hidup Mycobacterium tuberculosis di dalam sel makrofag.

Berdasarkan hal di atas, penulis ingin mengetahui perbedaan ekspresi gen protein TACO pada pasien LTBI dan orang sehat melalui Teknik Pemeriksaan Immunocytochemistry dan real time PCR. Hasil yang didapatkan adalah terdapat perbedaan yang bermakna dari ekspresi gen protein TACO  antara pasien LTBI dan orang sehat. Ekspresi gen protein TACO lebih tinggi pada pasien LTBI daripada pada orang sehat. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pada pasien LTBI yang sel makrofagnya sudah terpapar dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis pasti akan menunjukkan ekspresi protein TACO yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang sehat yang selnya belum terpapar oleh bakteri tersebut. Namun karena jumlah sampel yang terbatas pada penelitian ini maka kesimpulan yang didapatkan adalah masih dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar dan tetap dibutuhkan metoda lain untuk konfirmasi diagnosa LTBI yaitu antara lain Interferon Gamma Releasing Assay (IGRA test) dan kultur sebagai baku emas. 

Penulis: Dr. Rebekah Juniati Setiabudi, dr., MSi

Artikel lengkap dari penelitian ini yang berjudul “Gene expression tryptophan aspartate coat protein in determining latent tuberculosis infection using immunocytochemistry and real time polymerase chain reaction” dapat dibaca di jurnal Infectious Disease Reports 2020; 12(s1):8733; doi: 10.4081/idr.2020.8733.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).