BEM FISIP Ajak Mahasiswa Kritisi Tren Perkawinan Anak di Tengah Pandemi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Pandemi Covid-19 tidak hanya membawa implikasi pada situasi kesehatan nasional. Kenyataannya, situasi pandemi kini juga membawa implikasi lain terkait terhadap meningkatnya kasus perkawinan anak. Menurut data nasional, sepanjang pandemi berlangsung terdapat puluhan ribu permohonan yang masuk ke pengadilan agama untuk dispensasi pernikahan di bawah umur. Masalah inilah yang mendorong Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) menggelar webinar bertajuk Tren Perkawinan Anak di Tengah Pandemi, Jadi Solusi?

Dalam webinar pada Sabtu (19/12/2020) tersebut, terdapat tiga pembicara utama dari kalangan akademisi serta pemerintah yang diundang untuk membagikan pandangan dan saran mereka terkait isu tren perkawinan anak yang urung melandai. Pada kesempatan pertama, Kepala Perwakilan Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jawa Timur Drs. Sukaryo Teguh Santoso, M.Pd. menyoroti data serta peran program bangga kencana dalam mengatasi pernikahan dini.

Drs. Sukarya mengungkapkan bahwa angka perkawinan anak di daerah Jawa Timur sendiri masih tergolong tinggi dimana pada periode Oktober 2020, dari 206.972 pernikahan baru ada 23.056 pernikahan dini usia dibawah 20 tahun.

“Fakta tersebut diikuti dengan angka perceraian dan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang turut meningkat akibat perekonomian yang menurun maupun situasi karantina selama pandemi,” imbuhnya.

Pernyataan Drs. Sukarya tersebut juga didukung oleh pemateri kedua, Dra. Eva Kusuma Sundari, M.A., MDE. selaku anggota DPR Komisi XI 2014-2019. Dra Eva mengungkapkan bahwa dirinya telah acapkali bersinggungan dengan kasus-kasus perselisihan rumah tangga yang diakibatkan oleh pernikahan dini.

Berdasarkan data lapangan, ia menjabarkan bahwa terdapat masalah pendidikan, kemiskinan, serta rendahnya pengetahuan akan bahaya pernikahan dini yang membuat jumlah permintaan dispensasi pernikahan tidak kunjung menurun.

Masalah-masalah tersebut yang kemudian turut dijelaskan oleh Dr. Pinky Saptandari EP. Dra., MA. selaku dosen antropologi FISIP UNAIR yang berfokus pada kajian gender dan feminisme. Menurutnya, perkawinan anak menjadi bentuk nyata dari belenggu dominasi budaya patriarki dalam masyarakat.

“Budaya patriarki masyarakat seringkali membelenggu perempuan. Apalagi perkawinan anak melibatkan dua individu yang belum dewasa dalam segi biologis maupun psikologis. Hal ini menyebabkan perempuan akan menjadi pihak yang paling dirugikan dalam pernikahan dini jika melihat konstruksi sosial masyarakat sekarang,” jelasnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, ketiganya mendorong agar edukasi, sosialisasi, serta peran mahasiswa sebagai agen intelektual mampu ikut berperan menurunkan angka pernikahan dini. Penyebab perkawinan anak muncul akibat sebab yang multifaktor, sehingga dalam mengatasinya pun dibutuhkan peran besar dari setiap pihak.

Dalam webinar yang digelar via Zoom Meeting dan live streaming Youtube tersebut, turut hadir lebih dari 800 peserta dari dalam maupun luar UNAIR yang saling bertukar pendapat dan pemikiran.(*)

Penulis: Intang Arifia

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).