Serba-Serbi dan Tatalaksana Awal Jerawat

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh realitarakyat.com

Jerawat, atau yang biasa dikenal dengan istilah acne vulgaris, merupakan salah satu kondisi peradangan kulit yang paling sering ditemui di dunia.  Diperkirakan 80% dari seluruh penduduk dunia pernah mengalami jerawat dan data epidemiologis mengindikasikan bahwa kelompok usia remaja sampai 30 tahun yang paling rentan berjerawat. Populasi perempuan lebih rentan berjerawat apabila dibandingkan dengan kelompok laki-laki, dikarenakan ketidakseimbangan hormonal saat menstruasi.

Berdasarkan keilmuan terbaru, terdapat empat penyebab yang berkontribusi dalam pembentukan jerawat, yakni peradangan kulit, infeksi bakteri, penebalan keratin kulit, dan produksi minyak kulit yang berlebihan. Keempat faktor tersebut saling bersinergi mempercepat pertumbuhan jerawat. Selain keempat faktor di atas, faktor hormonal, kosmetik, makanan, stres, dan genetik juga dapat memperparah jerawat.

Penggunaan kosmetik komedogenik yang mengandung etil alkohol, polyethene glikol, dan stearil alkohol, cenderung tidak ramah pada kulit berminyak dan berpotensi menyumbat pori-pori kulit. Peningkatan hormon estrogen dan progesteron saat menstruasi juga dapat mempertebal keratin kulit dan meningkatkan produksi minyak. Berbagai studi keluarga dan studi anak kembar juga menemukan bahwa faktor genetik pada keturunan dapat mempermudah timbulnya jerawat. Makanan dengan indeks glisemik tinggi, konsumsi lemak jenuh, dan produk susu juga dapat memperparah jerawat. Ditemukan juga populasi yang sering mengonsumsi makanan tinggi gula, coklat, kacang, dan gorengan juga menimbulkan efek yang buruk pada jerawat.

Sebenarnya, hal yang paling ditakutkan bukan timbulnya jerawat, akan tetapi kemunculan jaringan parut (scarring) dan hiperpigmentasi paska peradangan karena dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup dan kepercayaan diri. Remaja yang berjerawat juga lebih rentan mengalami distres psikologi, seperti ansietas, depresi, dan rasa ketidakpuasan dengan tubuh apabila dibandingkan dengan populasi umum. Terlebih lagi, kelompok ini juga diasosiasikan dengan risiko prospek karier rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Oleh karena itu, tatalaksana awal yang tepat pada individu berjerawat dapat menurunkan risiko terbentuknya jaringan parut dan meningkatkan kualitas hidup.

Penatalaksanaan jerawat bergantung pada tingkat keparahan kondisi dan baiknya segera melakukan pemeriksaan ke dokter. Bentuk fisik dari lesi jerawat bervariasi, mulai dari komedo terbuka, komedo tertutup, papul yang berwarna merah, pustul yang berisi cairan kekuningan, hingga nodul yang biasanya agak besar nyeri berwarna kemerahan. Bentuk dan jumlah distribusi dari lesi jerawat berkorelasi dengan tingkat keparahan kondisi kulit ini. Hasil dari konsultasi dan pemeriksaan oleh dokter umum maupun dokter spesialis kulit akan menjadi dasar pengobatan jerawat. Secara garis besar, terdapat tiga metode pengobatan awal yang biasa diberikan oleh dokter, yakni obat oles (topikal), obat minum, dan kombinasi keduanya.

Melakukan pengobatan jerawat sebaiknya dilakukan sedini mungkin ketika lesi jerawat masih terlokalisasi dan belum meluas pada bagian tubuh tertentu. Sebagian besar dokter akan meresepkan obat oles untuk jerawat ringan-sedang karena efek sampingnya hanya lokal terbatas pada kulit, seperti kemerahan, rasa gatal, ataupun kulit kering. Pengobatan oles jerawat yang paling sering digunakan adalah golongan obat retinoid yang merupakan turunan vitamin A, antibiotik, dan benzoil peroksida.

Retinoid oles, seperti adapalene dan tretinoin, memiliki kemampuan menurunkan peradangan dan normalisasi keratin kulit yang terbukti berdasarkan berbagai studi klinis. Benzoil peroksida oles merupakan bahan obat yang dapat meresap masuk ke bagian kulit dalam dan membantu membunuh kuman penyebab jerawat di kelenjar minyak kulit. Sedangkan antibiotik oles, seperti doksisiklin atau klindamisin, berguna untuk membunuh bakteri penyebab jerawat dan menurunkan peradangan kulit. Antibiotik minum biasanya dikombinasikan dengan retinoid atau benzoil peroksida oles untuk menurunkan risiko resistensi antibiotik.

Salah satu kesalahan yang umum ditemukan dalam tatalaksana jerawat adalah pengobatan tunggal antibiotika, baik oles ataupun minum. Penggunaan antibiotika yang berlebihan juga dapat menurunkan efektivitas antibiotik dalam membunuh bakteri penyebab. Kombinasi dengan obat lain harus digunakan untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan awal jerawat.

Konsensus The Global Alliance to Improve Outcomes in Acne merekomendasikan penggunaan kombinasi retinoid/benzoil peroksida oles dan antibiotika oles sebagai tatalaksana awal jerawat ringan-sedang. Ketika jerawat tidak responsif terhadap pengobatan oles, dokter dapat meresepkan tambahan obat antibiotik minum dan melakukan evaluasi pengobatan setelah 4-6 minggu. Pengunaan obat sesuai petunjuk dokter, kontrol rutin, dan menghindari faktor-faktor yang dapat memperburuk kondisi jerawat merupakan kunci keberhasilan tatalaksana awal pengobatan jerawat.

Penulis : Maftuchah Rochmanti, Esravila Ariya Wibisono

Informasi detail dari artikel ini dapat diakses pada laman berikut: https://e-journal.unair.ac.id/JBE/article/view/12730

Esravila Ariya Wibisono, Diah Mira Indramaya, Maftuchah Rochmanti. 2020. Retrospective study: Initial pharmacotherapy profile of new acne vulgaris patients.  Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume: 8, Issue: 3.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).