Autoimunitas Penyakit Graves dengan Gangguan Mata Optalmopati Lebih Tinggi Dibanding Tanpa Gangguan Mata Optalmopati

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi penyakit graves. (Sumber: Jawa Pos)

Penyakit Graves adalah salah satu jenis gangguan pada sistem kekebalan tubuh yang mengakibatkan produksi hormon tiroid yang berlebih (hipertiroidisme). Sistim kekebalan yang harusnya melindungi tubuh dari infeksi tetapi menyimpang malah menyerang kelenjar tiroid. Gangguan sistim kekebalan ini merupakan mekanisme autoimun.

Salah satu komplikasi dari hipertiroidisme pada mata adalah optalmopati Graves, dimana mata penderita berubah menjadi menonjol keluar dengan berbagai akibatnya antara lain sulit menutup mata secara sempurna, iritasi kornea, infeksi bahkan bisa berakhir dengan kebutaan. Optalmopati Graves ini bisa menyebabkan nyeri, mengganggu estetik dan penampilan penderitanya sehingga berdampak pada penurunan  kualitas hidup.

Optalmopati Graves ini terjadi pada 50% penderita penyakit Graves, 30% diantaranya mengalami nyeri di bola mata, 70% mengalami pandangan yang kabur, dan 5% penderita mengalami kebutaan.

Autoimun merupakan penyebab timbulnya penyakit Graves dan komplikasi optalmopati, sehingga pengobatan ditujukan untuk menekan autoimunitas dan menekan produksi hormone tiroid yang berlebihan.

Pertanyaannya adalah apakah penderita penyakit Graves yang disertai dengan gangguan mata optalmopati menunjukkan autoimunitas yang lebih tinggi dibanding yang tanpa gengguan mata optalmopati?

Dalam riset ini kami memeriksa dan membandingkan kadar antibodi terhadap reseptor thyroid stimulating hormone (TSH) sebagai petanda autoimunitas pada penderita penyakit Graves dengan dan tanpa gangguan optalmopati

Perbandingan  thyroid stimulating hormone receptor antibody (TRAb) penderita penyakit Graves dengan dan tanpa optalmopati

Gangguan mata optalmopati merupakan komplikasi yang sangat mengganggu baik secara fungsional maupun estetik pada penderita dengan hipertiroid Grave. Gangguan mata optalmopati Grave ini juga menjadi petanda aktivitas autoimun yang tinggi.

Aktivitas autoimun ini bisa diperkirakan dari kadar TRAb. Dengan mengetahui aktivitas autoimun dari penyakit Graves, maka memungkinkan intervensi lebih dini untuk mencegah timbulnya komplikasi optalmopati Graves.

Studi ini merupakan penelitian potong lintang, melibatkan 50 penderita penyakit Graves aktif yang berobat di poliklinik rawat jalan endokrin Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya, 25 penderita dengan optalmopati Graves dan 25 penderita lainnya tanpa optalmopati Graves. Adanya optalmopati Graves ditentukan berdasarkan temuan klinis bola mata yang menonjol keluar (eksoftalmus) atau adanya retraksi atau tarikan kelopak mata, pada penderita Graves. Hipertiroid ditentukan berdasarkan kadar hormon tiroksin bebas (FT4) dan hormon perangsang tiroid (thyroid stimulating hormone). Pasien pasien ini kemudian diperiksa kadar antibodi terhadap reseptor Thyroid Stimulating Hormone (TRAb) untuk mendapatkan gambaran status autoimunitas.

Penderita wanita lebih banyak dibanding pria, dengan rentang usia 20-65 tahun, lama menderita penyakit Graves antara 1 – 10 tahun.

Struma atau pembesaran kelenjar tiroid yang merata atau difus didapatkan pada 26% penderita dengan komplikasi optalmopati Graves, dan 30% pada penderita tanpa komplikasi optalmopati Graves. Selain komplikasi optalmopati, beberapa penderita dengan komplikasi optalmopati Graves (12%) juga menunjukkan adanya manifestasi di kulit berupa perubahan warna kulit ditempat tertentu menjadi keunguan disertai hyperkeratosis. Manifestasi kulit ini disebut dermopati. Dermopati ini merupakan manifestasi yang muncul pada keadaan penyakit yang lanjut. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa bila ada manifestasi dermopati pada penyakit Graves selalu didapatkan juga manifestasi optalmopati Graves.

Manifestasi hipertiroid yang merupakan kelainan di jari jari tangan (akropaki)  juga didapatkan pada 6% penderita. Semua penderita telah mendapatkan pengobatan dengan obat antitiroid.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar hormone tiroksin (FT4) pada kedua kelompok sudah dalam rentang normal, namun didapatkan kadar FT4 pada kelompok optalmopati lebih tinggi dibanding kelompok non optalmopati namun tidak bermakna secara analisa statistik.

Kedua kelompok menunjukkan kadar TSH yang masih rendah dibawah kadar normal. Kelompok dengan optalmopati menunjukkan kadar TSH yang lebih rendah dibanding kelompok tanpa optalmopati, namun perbedaan ini tidak bermakna dalam analisa statistik.

Kadar hormone TSH berbanding terbalik dengan kadar FT4, rendahnya kadar TSH ini disebabkan karena penekanan hormon tiroksin terhadap produksi TSH di kelenjar hipofisis akibat kondisi hipertiroidi yang berlangsung lama.

Kadar TRAb pada kelompok dengan komplikasi optalmopati lebih tinggi yang secara statistik bermakna dibanding kelompok tanpa komplikasi optalmopati.

Kadar TRAb yang berbeda bermakna ini menunjukkan bahwa aktivitas autoimun pada kelompok dengan optalmopati Graves secara bermakna lebih tinggi dibanding kelompok tanpa komplikasi optalmopati Graves.

Pengobatan dini yang menekan autoimunitas merupakan pilihan pengobatan dimasa depan

Optalmopati Graves adalah komplikasi penyakit Graves yang sangat mengganggu penderitanya, menyebabkan nyeri, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan, dan merubah penampilan yang menyebabkan penderitanya merasa rendah diri dan kualitas hidupnya dan produktivitasnya menurun.

Temuan dari penelitian ini memberikan wacana bahwa pengobatan secara dini yang ditujukan untuk menekan aktivitas autoimun disamping obat antitiroid pada penyakit Graves dengan kadar TRAb yang tinggi diharapkan dapat mencegah timbulnya komplikasi optalmopati Graves atau mengurangi derajat keparahan komplikasi optalmopati Graves

Penulis: Soebagijo Adi Soelistijo

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://ysmu.am/website/documentation/files/2c68d9c1.pdf

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).