Respons Negara Menghadapi Pandemi COVID-19

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi dokter sebagai garda terdepan yang turut menangani Covid-19. (Sumber: https://m.ayocirebon.com/)

Tulisan ini menyajikan pengalaman sejumlah negara menghadapi pandemi COVID-19 dengan fokus pada periode kritis enam bulan pertama (Januari – Juli) 2020. Pada rentang waktu inilah dunia mengakui sedang menghadapi krisis kesehatan global, memaksa setiap negara ‘belajar cepat’ mengambil respons paling sesuai.

Periode enam bulan pertama adalah periode kritis dalam kaitan perkembangan penyebaran pandemi COVID-19. Memasuki akhir bulan Juni 2020, tepatnya tanggal 29 Juni 2020, menandakan masa enam bulan sejak WHO pertamakali menerima laporan resmi mengenai adanya kluster fenomena pneumonia yang penyebabnya belum diketahui di Wuhan, China. Jumlah kasus positif di seantero dunia telah mencapai angka 1o juta orang, dengan jumlah kematian mencapai 500.000 jiwa dan nyaris semua belahan dunia telah mengalami penularan; 215 negara mencatat kasus positif dan 171 negara di antaranya bahkan telah mengalami transmisi lokal.

Akibat dari penyebaran yang cepat ke belahan dunia lain, maka sejumlah kebijakan ketat (stringency policies) mulai diambil oleh sejumlah pemerintah, mulai dari penutupan sekolah yang diikuti model pembelajaran daring hingga penutupan tempat-tempat kerja/kantor yang diganti dengan kebijakan bekerja dari rumah, serta sejumlah kebijakan pengetatan lainnya.

Pengalaman Taiwan adalah salah satu contoh yang dianggap paling sukses. Tanpa bantuan komunitas internasional, Taiwan berhasil mengendalikan Pandemi COVID-19. Hingga 30 Juli 2020, Taiwan hanya mencatat 467 kasus positif dan tercatat hanya tujuh orang yang meninggal. Kunci keberhasilan Taiwan, adalah respons cepat dan penggunaan informasi berbasiskan integrasi mahadata, ditopang oleh disiplin dan kerjasama masyarakat Taiwan yang terbilang tinggi. Selain itu, sikap awal pemerintah Taiwan ketika mendengar khabar tentang merebaknya wabah ini di Wuhan, China, yaitu meanggapnya sangat serius (taking it seriously) sehingga metasa perlu bergerak cepat. Cerita sukses serupa juga terjadi di Korea Selatan. Kepiawaian pemerintah Korea Selatan menghadirkan strategi hurry-hurry yang sesuai untuk masyarakat dan mampu mengombinasikan dengan investigasi epidemologi, penggunaan teknologi tinggi untuk pelacakan, serta budaya bergegas yang sesuai dengan masyarakat Korea Selatan.

Untuk Kawasan Asia Tenggara, langkah yang tepat sasaran juga terlihat cukup berhasil di Vietnam. Keseriusan pemerintah Vietnam melihat potensi bahaya mematikan COVID-19, sangat krusial sehingga dengan cepat dan tidak ragu-ragu mengambil keputusan membatalkan semua penerbangan ke Vietnam yang berasal dari Wuhan, China. Negara lain di Kawasan ini yang terbilang sukses adalah Singapura. Ada tiga hal dilakukan pemerintah Singapura; sistem mitigasi bencana kesehatan yang responsif dan efisien; legitimasi pemerintah yang tinggi; dan modal sosial di masyarakat yang pernah mengalami pandemi SARS. Selanjutnya, Malaysia meskipun awalnya sempat mengalami kesulitan, tetapi ketegasan pemerintah baik di tingkat nasional dan lokal cukup membantu menekan penyebaran pandemi COVID-19. Sebaliknya Indonesia, di samping karena kondisi geografis yang luas, juga tidak diuntungkan oleh reaksi pemerintah yang terkesan ‘lamban’ dan tidak kompak di awal di dalam melihat potensi mematikan pandemi COVID-19.

Australia dan Selandia Baru masuk dalam kategori yang terbilang sukses di enam bulan pertama. Australia sukses karena mampu dalam pengelolaan resiko di tiga hal yaitu kesehatan masyarakat, sistem kesehatan nasional dan keberlangsungan perekonomian negara. Selandia Baru, berhasil karena dua factor. Pertama kesediaan semua pihak (oposisi dan masyarakat) untuk bekerja sama sehingga pemerintah dapat fokus mengambil kebijakan yang diperlukan. Kedua, terkait faktor geografi yang terletak jauh dari kawasan lain. Hal ini memberi waktu yang cukup bagi Selandia Baru untuk menentukan pilihan kebijakan yang sesuai.

Dua contoh gagal bisa ditemukan pada pemerintah Brasil dan Amerika Serikat. Kegagalan di kedua negara ini lebih karena sikap pemerintah yang semenjak awal tidak melihat pandemi COVID-19 ini sebagai ancaman serius yang mematikan. Di Brasil, justru terlihat semacam ‘kelalaian yang disengaja’ (deliberate negligence) sementara di Amerika Serikat, semacam ‘ketidaktahuan yang disengaja’ (willful ignorance). Akibatnya, kedua negara ini menduduki peringkat pertama dan kedua dengan jumlah kasus tertinggi pertengahan 2020.

Kawasan Eropa menghadirkan sejumlah hasil yang bervariasi. Inggris yang awalnya sempat kesulitan, dapat belajar dan memperbaiki kebijakannya dengan menerapkan strategi learn-to-reflect. Hasilnya, Inggris berhasil menekan pertumbuhan kasus baru. Jerman masuk kategori sukses. Kombinasi dari faktor kepemimpinan yang tegas dan cepat mengambil tindakan, dan didukung oleh sarana dan fasilitas kesehatan yang memadai mendukung keberhasilan Jerman.

Rusia adalah salah satu contoh yang boleh dibilang gagal karena dari awal menerapkan respons yang cenderung santai (laid-back approach) ditandai dengan keengganan menerapkan situasi darurat dan bahkan cenderung menutup informasi. Akibatnya jelas, di pertengahan tahun 2020, Rusia termasuk negara dengan jumlah kasus positif terbilang cukup tinggi. Italia adalah negara dengan kasus positif tertinggi di Eropa. Ada setidaknya tiga hal yang memberi kontribusi yaitu kepatuhan masyarakat yang rendah, dukungan sistem kesehatan yang kurang memadai, serta respons pemerintah yang lambat. Spanyol mengalami hal yang hampir serupa dengan Italia; respons yang diambil pemerintah Spanyol cenderung reaktif daripada antisipatif. Kebijakan pengetatan yang diambil terlampau terlambat sehingga di pertengahan tahun 2020, Spanyol gagal membendung kurva sehingga menjadi salah satu negara Eropa terburuk dengan total lebih dari 240.000 kasus positif.

Di Kawasan Afrika, Ethiopia hadir dengan pengalaman lain di dalam menanggulangi pandemi VOVID-19. Minimnya sarana kesehatan coba diatasi negara ini dengan mengedepankan diplomasi kesehatan. Sementara itu, dari Kawasan Timur Tengah, strategi yang dilakukan pemerintah Iran mengalami begitu banyak hambatan. Keterbatasan sarana kesehatan dan minimnya kedisiplinan publik mengganggu lancarnya strategi yan diadopsi.

Banyak faktor yang memengaruhi tingkat keberhasilan respons negara dalam menanggulangi pandemi COVID-19. Sikap awal pemerintah menjadi faktor krusial; ketika mendengar informasi awal tentang adanya penulaan virus yang bermula dari Wuhan, China ini, apakah pemerintah langsung melihat itu sebagai wabah berpotensi mematikan (potentially deadly outbreak). Kesuksesan di Taiwan, Korea Selatan, Vietnam, Singapura, Australia, Selandia Baru, dan Jerman bermula dari keseriusan pemerintah ketika mendengar wabah COVID-19 sehingga dapat dengan cepat mengambil langkah responsif yang diperlukan sesuai dengan kondisi masing-masing. Sebaliknya, kegagalan yang terjadi di Brasil, Amerika Serikat, Rusia, Italia, Spanyol, dan sejumlah negara lainnya juga bermula dari tidak segeranya pemerintah negara-negara ini melihat virus ini sebagai wabah yang mematikan.

Penulis: Vinsensio Dugis

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan saya di:

https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/23385 Respons Negara Menghadapi Pandemi COVID-19 (State Response to the COVID-19 Pandemic)Global Strategis, Vol 14, No 2 (2020)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).