Hambatan dan Strategi dalam Mengembangkan Industri Halal : Bukti dari Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi industri halal. (Sumber: https://monitor.co.id/)

Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim dan pengembangan industri halal harus menjadi fokus utama. Industri halal telah menjadi perbincangan yang populer dan trend terbaru dalam bisnis internasional, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain. Produk halal diperdagangkan sekitar $ 254 miliar pada tahun 2018 dan untuk ekonomi OKI dapat mengalami peningkatan 1-3% dalam PDB (Standar Dinar, 2019). Konsep halal pada dasarnya adalah bagian dari ajaran Islam.

Berdasarkan konsep Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin (rahmat kepada alam semesta), Islam telah mengatur kehidupan pengikutnya tidak hanya tentang ibadah tetapi mencakup seluruh bagian kehidupan seperti memenuhi kebutuhan hidup umat Islam. Selain itu, proses produksi berdasarkan prinsip syariah termasuk dalam kriteria halal. Beberapa penelitian telah dilakukan terkait industri halal di berbagai bidang. membenarkan bahwa salah satu kendala dalam pengembangan industri halal adalah sertifikasi halal.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim memiliki potensi dan peluang yang sangat besar dalam mengembangkan industri halal. Salah satu penyebab utamanya adalah jaminan ketersediaan pasar industri halal di Indonesia. Menurut Global Islamic Economy Report 2019/2020, Indonesia menduduki peringkat ke-5 dalam perkembangan industri halal, jauh tertinggal dari Malaysia yang menempati posisi pertama, dari berbagai indikator yang ada. Ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk mengembangkan industri halal baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Indonesia merupakan negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia. Namun, Indonesia belum memiliki visi yang jelas dalam posisinya di industri halal. Indonesia masih belum maksimal menggarap peluang industri halal global, karena orientasi pengembangan produk halal lebih untuk melindungi konsumen muslim dalam negeri. Selain itu, ruang lingkup sertifikasi masih pada sektor tertentu. Selanjutnya sertifikasi halal di Indonesia bersifat sukarela, artinya perusahaan atas inisiatif sendiri (dengan pertimbangan untuk memenuhi permintaan pasar konsumen muslim) mengajukan sertifikasi halal termasuk konsekuensi pembiayaannya. Pengembangan industri halal di Indonesia akan lebih difokuskan pada pemetaan kendala-kendala yang terkandung di dalamnya. Kajian ini mengelompokkan kendala perkembangan industri halal di Indonesia menjadi lima kelompok yaitu kebijakan, sumber daya manusia, infrastruktur, sosialisasi, dan produksi.

Indonesia adalah salah satu negara pertama yang memiliki sistem standar halal sendiri dan diakui oleh banyak institusi dan negara lain, termasuk Australia, Brazil, Belanda, Selandia Baru, dan Amerika Serikat (Wilson, JA, et. Al .: 2013). Sertifikat halal di Indonesia adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia) untuk produk yang telah lolos proses registrasi, audit, dan rapat Komisi Fatwa MUI. Produk yang dapat diterbitkan sertifikat halal oleh MUI antara lain produk pangan, obat-obatan, kosmetik, barang konsumsi (bahan kimia, sabun, deterjen, kulit, filter air, dll.), Dll.

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan teknik analisis Analytic Network Process (ANP). Hasil analisis dari ANP berada di urutan prioritas. Karena teknik analisis ANP hanya menggunakan pendapat para ahli, maka hasil penelitian ini akan cukup kuat.

Pengembangan industri halal di Indonesia akan lebih difokuskan pada pemetaan kendala-kendala yang terkandung di dalamnya. Kajian ini mengelompokkan kendala perkembangan industri halal di Indonesia menjadi lima kelompok yaitukebijakan, sumber daya manusia, infrastruktur, sosialisasi, dan produksi.

Kelompok rintangan pertama adalah kebijakan. Kebijakan yang dimaksud kendala terkait kebijakan penyediaan produk halal di Indonesia. Indonesia melalui Majelis Ulama Indonesia bertanggung jawab atas proses sertifikasi. Namun, seperti disebutkan sebelumnya, sertifikasi halal di Indonesia belum menjadi keharusan. Kelompok rintangan kedua adalah sumber daya manusia. Manusia sumber daya yang dimaksud adalah kendala terkait sumber daya dari sisi produsen di Indonesia. Terkait status sertifikasi halal di Indonesia yang bersifat sukarela, terdapat beberapa kendala dalam ketersediaan produk dengan sertifikasi halal di Indonesia.

Kelompok penghambat ketiga adalah infrastruktur. Infrastruktur ini terkait dengan kendala infrastruktur hukum terkait pemberian sertifikasi produk halal. Contohnya adalah infrastruktur yang terkait dengan pelaksanaan JPH (Jaminan Produk Halalatau Undang-undang Jaminan Produk Halal seperti aturan turunan, implementasi, sistem, prosedur, jumlah LPH (Lembaga Penjamin Halal – Lembaga Penjamin Halal). Kelompok rintangan keempat adalah sosialisasi. Sosialisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sosialisasi yang berkaitan dengan produk halal di Indonesia. Ini sosialisasi tidak hanya dari instansi pemerintah tetapi juga oleh berbagai pemangku kepentingan industri halal di Indonesia.

Kelompok rintangan kelima adalah produksi. Produksi yang dimaksud adalah kendala yang berkaitan dengan proses produksi produk halal. Sebagaimana perekonomian pada umumnya, bahan pembuatan produk halal tidak hanya berasal dari pasar dalam negeri. Kewajiban produk halal untuk memenuhi persyaratan halal adalah semua prosesnya halal. Padahal, belum semua bahan dari suatu produk bersertifikat halal.

Penulis: Tika Widiastuti, Aam Slamet Rusydiana, Anidah Robani, Taqiyah Dinda Insani, Muryani

Artikel lengkapnya dapat dilihat pada link berikut ini:

https://giapjournals.com/hssr/article/view/2906

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).