Trump dan Kontroversi Pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Kedubes AS di Tel Aviv. (Sumber: DetkNews)

Jika tidak kontroversial tentu bukan Donald Trump. Begitulah adagium populer melukiskan perangai pribadi dan kebijakan luar negeri Presiden Amerika Serikat setelah Barack Obama. Menang meyakinkan melawan pesaing tangguh mantan senator dan menteri luar negeri tersohor Hillary Clinton, Trump mengumbar janji-janji populis. Menangkal imigran Meksiko, Muslim dan China masuk dengan mudah ke Amerika, memenangkan perang melawan teror ISIS serta menumpas ketidakamanan di Timur Tengah dan dunia memikat kalangan nasionalis konservatif yang ternyata semakin menjamur di Negeri Paman Sam selama dua dasawarsa terakhir.

Gonta ganti personil kabinet pun merupakan pemandangan politik dan entertainmen media menarik sepanjang administrasi Trump. Mulai dari penasehat keamanan nasional yang dicopot hanya berselang tiga minggu setelah dilantik, hingga menteri pertahanan yang telah beralih tangan ke empat orang selama empat tahun. Ratusan diplomat senior dipaksa mundur sebab tidak bersedia mengikuti haluan politik internasional Trump yang dianggap tidak rasional dan membahayakan kepentingan global Amerika. Sang presiden berdalih “America first”, jadi apapun demi kejayaan Amerika niscaya didahulukan.

Salah satu langkah Trump yang paling ditentang dunia ialah pemindahan Kedubes Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem, berarti melanggar seluruh komitmen politik perdamaian yang dinisiasi sendiri oleh Washington dan mendapat sokongan sekutu Barat dan Arab. Hujan kritik dan lemparan cemooh berbagai kalangan masyarakat dunia tidak digubris Trump. Pemindahan direalisasikan pada Mei 2018, setelah sekitar enam bulan menuai badai ketidaksetujuan dunia. Demikian pula di dalam negeri, Trump tidak bergeming selangkah pun meski lawan dan publik menolak kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan terkait konflik Palestina-Israel. Keteguhan Trump mengundang tanda tanya, bagaimana bisa seorang pemimpin negara demokrasi mapan sampai begitu keras hati dan tidak berubah pikiran demi membela putusan pribadi?

Teori menjawab pertanyaan di atas mengatakan otoritarianisme nasionalistik dan percaturan politik domestik melatarbelakangi pengambilan keputusan dramatis Trump. Nasionalisme konservatif membentuk cara pandang Trump terhadap dunia luar. Apa saja yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai fundamental seorang nasionalis konservatif akan diabaikan. Seorang Trump berpendirian dia dan bangsa yang diawakiki berhak menentukan pilihan, karena mereka besar dan kuat, lebih unggul dari orang lain maupun masyarakat internasional secara umum. Oleh sebab itulah, Amerika boleh berbuat sesuka hati, membolakbalikan isi Bumi, dan membangun tatanan sesuai kehendak sendiri. Memang ideologi bermain dan berpengaruh sebagai justifikasi moralis kebijakan pemimpin diktator. Trump merepresentasikan karakter dimaksud, kendati dalam zona demokrasi prosedural modern.

Seorang nasionalis konservatif tidak suka mempertimbangkan aspek normatif, walaupun mereka sebenarnya mengejar kepentingan idealistik. Relasi Amerika dan Israel bersifat historis, materialis dan politis. Pengaruh kekuatan lobi Yahudi di dalam perpolitikan Washington tidak diragukan lagi. Banyak elite Kongres dan pejabat tinggi Gedung Putih memiliki relasi pribadi dengan donatur dan organisasi global berlabel Yahudi. Sehingga, direksi pro-Israel dalam kebijakan luar negeri Amerika di Timur Tengah, terutama mengenai perseteruan Arab-Israel mudah dijelaskan. Selain itu, geostrategi menunjang kedekatan kedua negara – Amerika dan Israel, menghalau penetrasi Rusia di Wilayah Teluk merupakan agenda bersama dan agensi struktural terpenting mereka. Di tangan Trump seluruh faktor tersebut mendapat angin segar dan ruang guna teraktualisasi.

Kepentingan politik dalam negeri jelas merupakan pendorong keintiman Trump dengan Israel. Betapa tidak, di awal masa pemerintahan Trump sudah sesumbar menyebut ia akan memimpin selama delapan tahun alias dua periode, dan jadi presiden Amerika paling gemilang. Untuk itu, Trump membutuhkan investasi politik besar yang hanya bisa dipenuhi oleh lembaga-lembaga konsultasi dan finansial Yahudi, di tengah dorongan kuat Demokrat yang menghendaki pluralisme. Permainan kebijakan luar negeri sudah jadi bagian integral politik domestik Amerika. Presiden yang tidak akomodatif pada kepentingan-kepentingan Zionis akan kalah, mengalami kemerosotan pamor dan lenyap dari dunia politik. Semacam kutukan bagi para politisi Amerika bahwa Yahudi mau tidak mau harus dipatuhi. Penjelasan ini senada dengan tinjauan berbagai kalangan analis internasional yang menyebutkan bahwa Trump tidak pernah berniat serius mendamaikan Timur Tengah, dan hanya menjadikan persoalan di kawasan itu sebagai komoditas politik pribadi.

Penulis: Yanuar Albertus dan I Gede Wahyu Wicaksana

Informasi lebih lengkap bisa disimak dalam artikel Albertus, Yanuar, dan I. Gede Wahyu Wicaksana. “The Relocation of the United States’ Embassy in Israel: Analysis of the Influence of Trump’s Nationalist Worldview and United States’ Domestic Politics.” Global Strategis 14.1 (2020): 125-141.

https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/viewFile/19252/10731

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).