Bukan Orientalisme atau Konfusianisme: Strategi Tepat, Cepat, dan Transparan Korea Selatan dalam Menanggulangi COVID-19

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh news.okezone.com

Korea Selatan (Korea) dipuji sebagai salah satu negara tersukses dalam membendung penyebaran coronavirus, COVID-19, dalam waktu yang terbilang singkat. Beberapa tulisan berargumen bahwa kesuksesan negara-negara Asia Timur merupakan berkat nilai-nilai Konfusius mereka atau Orientalisme, yang tidak penulis setujui. Dalam artikel ini, penulis akan mendeskripsikan secara detail bagaimana pemerintah Korea mampu membendung penyebaran COVID-19 melalui kombinasi investigasi epidemiologis, teknologi mutakhir, dan budaya buru-buru (빨리 빨리) mereka, yang berkontribusi terhadap hurry-hurry strategy unik milik Korea Selatan.

Di tiga bulan pertama pandemi, negara-negara Asia Timur mengatasi pandemi lebih baik daripada banyak. Taiwan, Korea, dan Singapura termasuk di antara negara-negara yang disebut memiliki ‘strategi dan respons terbaik’ terhadap pandemi dengan kasus per kapita yang relatif rendah dan tingkat kematian yang rendah. Beberapa artikel memproduksi dan memperdebatkan argumen Konfusianisme yang sudah usang dengan sifat kolektivisme dan ketaatannya yang berhasil membuat negara-negara tersebut tertahan pandemi. Penulis berpendapat bahwa meskipun sosio-budaya memang memainkan peran yang menentukan dalam tanggapan publik atau negara terhadap pandemi, argumen Konfusianisme dan Orientalisme bisa menyesatkan, memicu stereotip, dan terlampau reduksionis. Pemerintah Taiwan, Korea, dan Singapura semuanya telah merumuskan tanggapan strategis yang berbeda, dan warganya menanggapi dengan berbagai cara. Sifat masyarakat suatu negara bisa sangat rumit dan tidak dapat dijelaskan hanya dengan ‘Konfusianisme.’

Sampai batas tertentu, saya setuju bahwa masyarakat di negara-negara tersebut menampilkan berbagai tingkat kolektivisme atau conformity. Namun hal tersebut tidak dapat diaplikasikan pada Korea, menunjukkan tingkat terendah perasaan komunitarian di antara anggota OECD. Di Korea, penulis berpendapat bahwa kombinasi antara karakteristik sosio-budaya (빨리 빨리 – ppalli ppalli/buru-buru), kebijakan berbasis sains, teknologi mutakhir, dan transparansi informasi telah membantu Korea Selatan untuk meratakan kurva lebih awal dan lebih cepat daripada kebanyakan negara.

Korea luluh lantak akibat Perang Korea sekitar 70 tahun lalu. Namun mereka mampu mengembangkan perekonomiannya dengan sangat cepat dan berhasil mencapai status negara maju pada tahun 1996. Korea hanya membutuhkan waktu 50 tahun untuk menjadi negara maju secara ekonomi dan keberhasilan ini disebut sebagai Miracle of Han River. Keberhasilan ini pun menjadi titik awal terbentuknya budaya tergesa-gesa mereka. Karakter tergesa-gesa Korea ini tercermin pada etos kerja, prinsip bisnis, hingga proses pemesanan makanan/barang. Jung (2013) menyebutkan bahwa karakter ini berdampak pada inovasi teknologi yang pesat dan ketepatan waktu berbisnis di Korea. Namun hal ini juga berdampak pada berbagai masalah sosial di Korea, seperti stress, angka bunuh diri tinggi, dan tingkat kompetisi ketat.

Dalam menghadapi pandemi, budaya ini juga tercermin dalam kebijakan penanggulangan pemerintah Korea. Sebelum COVID-19, Korea mengalami wabah MERS pada tahun 2015. Ketika MERS terjadi, pemerintah konservatif saat itu tidak transparan dalam memberikan informasi dan menyembunyikan tracing epidemiologi karena takut akan dampak ekonomi. Pemerintah liberal saat ini belajar dengan cepat dari pengalaman ini dan mereformasi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KCDC) dan memperkenalkan undang-undang baru tentang penelusuran berbasis teknologi (Kang et al., 2020). Sebelum COVID-19 Mengakui bahwa wabah berpotensi terjadi di negara tersebut, pemerintah Korea dan KCDC bahkan mengadakan simulasi pandemi untuk mengukur tingkat keparahannya dan merumuskan respons yang tepat sejak Desember 2019 (Shin, 2020). Tim KCDC berhasil mengembangkan algoritma untuk pelacakan dan pengujian kontak, dan berhasil memobilisasi simulasi mereka untuk menanggulangi COVID-19.

Sejak kasus pertamanya di bulan Januari, pemerintah pusat dengan sigap mengaktifkan langkah- langkah kesehatan masyarakat ini dengan meluncurkan sistem pencegahan dini, penelusuran, dan pemantauan aktif untuk kasus-kasus potensial. Strategi tersebut disebut pendekatan Test-Trace- Treat (MOFA KR, 2020). Pendekatan ini bekerja melalui beberapa tahap. Pertama, calon pasien akan dites melalui rapid test dan swab test. Begitu dia menjadi kasus yang dikonfirmasi, pemerintah pusat dan daerah akan melakukan penyelidikan epidemiologi cepat (Pemerintah Metropolitan Seoul, 2020) dan mulai melacak sumber infeksi dan kontak potensial dari pasien yang dikonfirmasi ini. Langkah kedua ini terutama berbasis teknologi, karena pemerintah akan melacak detail kartu kredit pasien yang dikonfirmasi, analisis CCTV, lokasi ponsel, kemudian menyebarkan informasi tersebut kepada publik melalui situs web kabupaten dan kota serta teks darurat. Langkah ketiga adalah isolasi dan pengujian kontak untuk siapa saja yang kebetulan memiliki kontak langsung atau tidak langsung dengan pasien yang dikonfirmasi. Pelanggaran aturan isolasi diri atau karantina dapat menyebabkan denda 10 juta won dan satu tahun penjara (Pemerintah Metropolitan Seoul, 2020). Saat lokasi pasien yang dikonfirmasi diumumkan, siapa pun yang kebetulan berada di sekitar pasien pada saat yang sama dapat meminta untuk menjalani tes. Terakhir, pasien yang dikonfirmasi akan dirawat di rumah sakit secara gratis (Kang et al., 2020).

Berkat strategi cepat dan tepat pemerintah, Korea tidak pernah menerapkan lockdown seperti banyak negara. Mereka hanya memberlakukan kebijakan pembatasan sosial (social distancing– 사회적 거리두기–sahwajeok georidugi). Selain itu, masyarakat Korea juga terbiasa menggunakan masker akibat tingkat polusi debu halus di Korea sehingga tidak ada polemik terkait pentingnya menggunakan masker.

Namun, kebijakan pemerintah Korea juga memiliki kelemahan. Pembatasan sosial mereka kemungkinan tidak dapat dilakukan pada jangka panjang, dan terlalu bergantung pada kerja sama masyarakat dan kewaspadaan mereka. Selain itu, pemerintah Korea juga tidak terlalu tegas dalam menerapkan sanksi untuk para pelanggar aturan dan kebijakan pemerintah kebanyakan hanya berupa himbauan. Contohnya, pada hari raya terbesar Korea, Chuseok, di bulan Oktober lalu, pemerintah menghimbau rakyat untuk tidak kembali ke kampung halaman dan berdiam di rumah saja. Namun publik justru bepergian ke berbagai tujuan wisata di dalam negeri.

Penulis: Annisa Pratamasari, M.Sc

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/21456

(South Korean Hurry-Hurry (빨리 빨리) COVID-19 Strategy: Privacy Concern, No-Lockdown, and Discriminations)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).