Bantuan Luar Negeri RI ke Pasifik

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Merdeka.com

Tulisan ini membahas sejauh mana bantuan RI ke Pasifik berperan dalam membangun kembali, memulihkan, dan meningkatkan citra Indonesia di antara negara-negara Pasifik. Kami berpendapat bahwa dimensi etnis adalah salah satu penentu penting dalam hubungan diplomatik, dan pengabaian pada dimensi etnis dapat menyebabkan kegagalan dalam diplomasi. Bantuan luar negeri RI ke Pasifik mampu memberikan dampak konstruktif yang terbukti dengan menurunnya dukungan terhadap separatisme Papua di kawasan Pasifik Selatan.

Setelah lebih dari 50 tahun sebagai penerima bantuan luar negeri, Indonesia  saat ini memainkan peran penting sebagai penyedia donor. Indonesia secara terbatas mampu mempromosikan Technical Cooperation among Developing Countries (TCDC) melalui Indonesian Technical Cooperation Program (ITCP) sejak tahun 1981. Pencapaian ini merupakan bagian dari sejarah perkembangan yang panjang, karena pada awalnya Indonesia merupakan pemrakarsa South-South Cooperation (SSC) di Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok. Peran penting negara dalam tatanan pewarnaan global merupakan wujud dari perannya sebagai kekuatan global pada saat itu.

Pasifik adalah salah satu wilayah yang paling bergantung pada bantuanlur negeri, dengan Australia sebagai donor utama diikuti oleh China, Selandia Baru, dan negara-negara donor lainnya. Meski menghadapi tantangan bantuan luar negeri di kawasan, Indonesia tidak pernah menganggap para donor besar ini sebagai pesaing dalam pemberian bantuan. Indonesia berkomitmen untuk terus menawarkan bantuan luar negeri yang efektif ke negara-negara Pasifik karena kawasan itu merupakan bagian penting dari kepentingan nasionalnya.

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berangsur-angsur membaik, pemerintah secara aktif mempromosikan kerja sama horizontal antar negara berkembang dengan memainkan peran penting sebagai penyedia donor dalam kategori non-DAC (Development Assistance Committee). Meskipun Indonesia masih menerima bantuan luar negeri, selama dua dekade terakhir, Indonesia juga telah memberikan bantuan kepada negara-negara berkembang lainnya di kawasan Pasifik.  Keputusan memberi bantuan pada negara-negara Pasifik Selatan dianggap penting karena hubungan Indonesia dengan negara-negara ini diwarnai dengan citra buruk Indonesia sebagai negara yang dianggap “agresif”. Ini terbukti dari keputusan beberapa negara di kawasan tersebut yang menentang kemerdekaan Papua.

Setelah puluhan tahun menjalin hubungan baik, Jakarta mulai membuka “pintu timur”-nya dengan menciptakan hubungan yang lebih erat dengan negara-negara Pasifik melalui pemberian bantuan. Pendekatan Indonesia ditujukan untuk menyelesaikan masalah domestik terkait integrasi nasional dan keutuhan wilayah di timur, khususnya masalah kemerdekaan Papua. Indonesia menggunakan bantuan sebagai alat diplomatik utama dalam kebijakan “Melihat ke Timur”.

Menurunnya tingkat bantuan finansial dari negara donor tradisional ke kawasan Pasifik Selatan membuka jalan bagi donor lain seperti China, Taiwan, dan India. Indonesia memperkuat kebijakan “Melihat ke Timur” untuk lebih mampu berperan secara positif di wilayah tersebut dengan cara mengintensifkan bantuan pembangunan. Pemberian bantuan kepada negara-negara Pasifik vital bagi kepentingan Indonesia dalam menjaga kawasan di bawah penguasaannya guna memastikan bahwa setiap kegiatan di sana tidak merugikan posisinya, khususnya terkait kedaulatannya atas Papua. Jakarta meningkatkan kehadirannya dengan menggunakan pembangunan sebagai instrumen diplomasi dengan harapan dapat “merebut hati” rakyat Pasifik, yang mampu berkontribusi dalam menurunkan eksternal terhadap gerakan separatis Papua di negara-negara kawasan tersebut. Strategi ini dilakukan meskipun kawasan tersebut tidak memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia karena terbatasnya pasar dan berbagai masalah politik dalam negeri.

Seperti diketahui, sebagian besar negara-negara Pasifik dilanda masalah domestik dan regional sehingga mereka dianggap sebagai “negara lemah,” atau “negara gagal”, khususnya negara-negara di sub-wilayah Melanesia. Uniknya, perpolitikan di kawasan Pasifik lekat dengan persoalan identitas, termasuk identitas lintas batas. Hal ini memperkuat anggapan bahwa identitas etnis adalah faktor penting yang digunakan oleh para separatis dalam mencapai tujuan mereka. Identitas memberikan ruang bagi kelompok separatis untuk mengekspresikan perbedaan mereka dengan orang lain. Pemilihan identitas yang tepat adalah strategi untuk menarik perhatian internasional. Pemimpin etnis memaksimalkan simbol, mitos, tradisi, dan praktik untuk memperkuat identitas mereka. Masalah identitas etnis menjadi penentu penting dalam hubungan gerakan separatis Papua dengan negara-negara di Pasifik. Walaupun Indonesia terlambat menyadari hal ini, secara perlahan-lahan Indonesia menggunakan isu identitas etnik sebagai pintu masuknya ke wilayah Pasifik.

Untuk menjaga keutuhan wilayahnya, Jakarta terus meningkatkan upaya diplomasi untuk menggagalkan upaya OPM untuk mendapatkan dukungan eksternal. Gerakan tersebut telah menggunakan “diplomasi gerilya” untuk melancarkan kampanye kemerdekaannya dan menggalang simpati internasional, khususnya di kalangan masyarakat negara-negara Pasifik. Di sinilah pentingnya bantuan luar negeri yang berperan sebagai alat diplomasi Indonesia untuk meningkatkan citra positifnya sekaligus menurunkan dukungan negara-negara Pasifik pada perjuangan pemisahan diri Papua.

Penulis: Baiq Wardhani dan Vinsensio Dugis.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://www.worldscientific.com/doi/10.1142/S101325112040010X

Interpreting Indonesia’s “Look East” Policy: The Security Dimension of Foreign Aid. https://doi.org/10.1142/S101325112040010X

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).