SDM dan Alat Terbatas, Mungkinkah Anjing Digunakan sebagai Alternatif Pendeteksi Covid-19?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Tenaga kesehatan (nakes) dan fasilitas kesehatan selalu menjadi isu kritis dalam usaha penanganan pandemi Covid-19. Termasuk di Indonesia. Terbatasnya jumlah nakes serta mahalnya fasilitas kesehatan membuat pandemi semakin sulit dikendalikan. Bahkan pada akhir November ini, Indonesia mencatatkan rekor tertinggi penambahan kasus baru sebanyak 6.267 pasien positif pada Minggu (29/11/2020).

Situasi tersebut membuat banyak ahli berusaha mencari setiap kemungkinan solusi, tidak hanya vaksin akan tetapi juga alat screening alternatif yang dapat mendeteksi virus. Menyikapi hal ini, belakangan muncul penelitian atau pilot study untuk menggunakan anjing sebagai alat pendeteksi dini virus Covid-19 pada manusia.

Penelitian tersebut pertama diinisiasi oleh peneliti Jerman melalui lama BMC Infectious Disease. Dari sana diperoleh laporan bahwa anjing mampu mendeteksi virus Covid-19 dengan tingkat kesuksesan 94%. Progres alat deteksi alternatif tersebut mendorong dalam Kajian Istimewa Nasional yang digelar Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR untuk mendiskusikan peluang tersebut bersama para ahli.

Anjing sendiri sejak lama telah dikenal sebagai hewan dengan sensitivitas penciuman yang tinggi. Menurut Direktur PT Caninone Ir. V.F. Sugiarto Tandjung, anjing labrador dan golden retriever menjadi dua jenis anjing yang paling berpotensi digunakan menjadi alat screening virus karena kemampuan sensivitas tinggi serta pelatihannya yang mudah.

Untuk penggunaannya sendiri, Ahli Epidemiologi Universitas Airlangga (UNAIR) Dr. M. Atoillah Isfandi, dr., M.Kes. mengungkapkan bahwa anjing hanya memungkinkan digunakan sebagai alat screening dan bukan diagnosis, seperti pada alat PCR.

“Ada standar kuantitas untuk melakukan diagnosis. PCR pun masih punya kelemahan pada nilai cycle time. Untuk itu, jika memang nantinya berhasil diwujudkan, anjing akan lebih tepat digunakan sebatas pada screening kualitatif layaknya rapid test,” paparnya pada Minggu (29/11/2020).

Meski dalam tahap pengembangan di beberapa negara, Prof. Dr. drh. Chairul Nidom, MS. turut menimpali bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan hewan sebagai alat pendeteksi virus. Pertama adalah diferensiasi virus di setiap tahap patogenesis Covid-19. Mutasi yang banyak terjadi dan berbeda-beda antar satu kawasan membuat anjing nantinya akan kesulitan mendeteksi virus yang berbeda dari yang telah ia kenali.

Kedua adalah potensi terjadinya zoonosis di mana virus mungkin akan menjangkiti hewan meskipun proses deteksinya dilakukan pada virus yang telah diinaktif. Pada kasus di beberapa negara, terdapat penyataan bahwa anjing menjadi salah satu hewan yang rentan terkena virus Covid-19.

“Oleh karena itu, animal welfare juga menjadi isu yang perlu diperhatikan. Penggunaan hewan sebagai alat pendeteksi virus juga memunculkan kemungkinan penyebaran dan mutasi melalui hewan tersebut. Keselamatan dan kesejahteraan hewan pun harus turut diusahakan,” imbuhnya.

Namun, guru besar UNAIR bidang biologi molekuler itu sendiri meyakini bahwa perkembangan akan selalu mungkin terjadi. Apabila progres penggunaan anjing sebagai alat screening berhasil, maka hal tersebut tidak hanya akan memangkas biaya alat kesehatan, akan tetapi juga membawa kebermanfaatan secara luas.

Penulis: Intang Arifia

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).