Waspada Depresi di Masyarakat

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi depresi. (Sumber: Link Sehat)

Depresi, seperti penyakit flu yang dapat menyerang siapa saja. Angka prevalensi di seluruh dunia cukup tinggi sebesar 6-12% dari berbagai penelitian. Di Indonesia, data dari Riskesdas tahun 2018 prevalensi depresi sebesar 6,1% dan khususnya di Surabaya sebesar 10,8%. Depresi didapatkan dimana-mana baik di negara pendapatan tinggi maupun rendah. Ini menunjukkan bahwa negara manapun perlu waspada terhadap dampak gangguan depresi. Sementara itu mereka yang belum mencari pengobatan masih tinggi, sebesar 87 hingga 91% dari gangguan depresi belum mencari pengobatan.

Banyak faktor yang memengaruhi hal ini, antara lain kurangnya pengetahuan secara umum tentang kesehatan mental dan khususnya tentang depresi,  banyak orang menganggap depresi sebagai perasaan manusia yang wajar dan tidak perlu berobat, tidak tampak sakit bila masih ringan atau sedang sehingga tidak mencari bantuan, hanya berupa keluhan subyektif sehingga sering dianggap dibuat-buat dan tidak perlu berobat, perasaan malu untuk berobat karena stigma terhadap gangguan jiwa, kondisi yang jauh dari pelayanan kesehatan, dll.

Dampak gangguan depresi dan diperparah bila tidak diobati, dapat menyebabkan fungsi berpikir menjadi terganggu (terjadi bias kognitif), kinerja menjadi tidak optimal, terganggunya relasi bahkan perceraian, pengasuhan anak menjadi tidak optimal, kualitas hidup menjadi buruk, muncul ide bunuh diri dan bahkan perilaku bunuh diri. Angka bunuh diri di Indonesia tahun 2016-2017, sebesar 3,7 kematian dari 100 ribu penduduk sedangkan dari peneliti lain didapatkan risiko bunuh diri di Surabaya sebesar 12,67%.

Hasil penelitian non-random pada populasi di Surabaya menunjukkan proporsi depresi pada remaja sebesar 3,9%, pada dewasa 6,2% dan geriatri 7,7%. Pada populasi berisiko tinggi cukup besar seperti pengguna Napza sebesar 12,5%, pekerja seks sebesar 12,8% dan individu tahanan sebesar 18,9%. Secara umum, prevalensi pada populasi umum sebesar 9,5%. Pada populasi tidak berisiko sebesar 5,1%, sedangkan prevalensi pada kelompok berisiko sebesar 15,4%. Ini menyadarkan kita bahwa kondisi kelompok berisiko mengalami beban ganda dalam kehidupan mereka, beban kondisi kehidupannya dan beban gangguan depresinya.

Ada perbedaan gejala depresi antar gender. Gejala pada perempuan lebih banyak pada perasaan sedih, perubahan nafsu makan, merasa bersalah dan menyalahkan diri, sulit berpikir, berkonsentrasi dan mengambil keputusan. Sedangkan gejala pada pria lebih pada kurang enerji, gangguan tidur, merasa kurang berharga dan tidak percaya diri dan pikiran bunuh diri. Gejala-gejala ini sering tidak tampak dan tidak disadari.

Gangguan pada fungsi kognitif menjadi perhatian khusus. Karena ada bukti bahwa sebelum terjadi gangguan depresi sudah terdapat hendaya kognitif yang dapat membawa individu pada kondisi depresi. Gangguan kognitifnya dapat berbentuk bias kognitif, seperti berpikir hitam-putih, berpikir menggeneralisasi, berpikir membesarkan masalah, berpikir meramal dan mengambil kesimpulan dini. Hendaya kognitif lain adalah defisit kognitif antara lain kemampuan memori kerja, fleksibilitas kognitif dan pengambilan keputusan berkurang. Gejala kognitif ini juga sering tidak disadari dan tidak tampak, sehingga perlu dilakukan skrining pada populasi umum untuk mencegah terjadinya gangguan depresi dan gangguan mental lain. Bahkan dapat dilakukan latihan kognitif dan remedial kognitif bagi individu yang mengalami bias kognitif dan defisit kognitif sebelum menjadi depresi. Dengan terapi dan latihan dapat meminimalkan risiko terjadinya gangguan depresi dan dampaknya dapat dicegah.

Pengenalan gejala-gejala depresi perlu diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia, termasuk juga di kota Surabaya. Pemeriksaan sedini mungkin dan pencegahan primer serta peningkatan kesehatan mental perlu mendapatkan perhatian. Bagi kelompok risiko tinggi seperti individu di tahanan, pekerja seks dan pengguna Napza perlu dilakukan intervensi masalah kesehatan mental. Gangguan mental pada kelompok risiko tinggi ini dapat menjadi penyebab maupun akibat seperti gangguan depresi yang perlu dievaluasi secara cermat. Pemerintah perlu melibatkan profesional kesehatan mental untuk membantu para kelompok risiko tinggi agar dapat keluar dari perilaku-perilaku yang negatif yang akan menyulitkan diri mereka sendiri di masyarakat.

Intervensi bagi populasi remaja, dewasa dan lansia juga perlu dan penting dilakukan dengan cermat. Sosialisasi kepada pendidik di sekolah, kepada orang tua dan caregiver lansia perlu terus menerus dilakukan. Pada remaja penting mengingat mereka memasuki masa pencarian jati diri, bila tidak terjadi dengan optimal karena gangguan depresinya, maka ke depan self-concept dan self-esteem menjadi berkurang. Indonesia akan kehilangan sebagian  remaja sebagai penerus bangsa bila tidak mendapat perhatian khusus. Gangguan depresi dapat dikompensasi pada hal-hal yang negatif seperti penggunaan narkoba, pergaulan bebas, main game online, bermain di sosial media tanpa tujuan. Bangsa yang besar memerlukan individu dengan mental yang tangguh dan citra diri yang positif, dengan kata lain, bangsa yang tangguh minimal kejadian depresi di masyarakatnya, apa pun penyebabnya.

Penulis: Margarita M. Maramis

Informasi dari survei dapat dibaca pada:

https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0020764020957359

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).