Masyarakat Adat dalam Himpitan UU Cipta Kerja Menurut AMAN

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Direktur Advokasi, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman. (Foto: Dok. Pribadi)

UNAIR NEWS – Metode omnibus law yang digunakan dalam penyusunan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menjadikan produk hukum tersebut dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu karena eksistensinya yang merombak banyak regulasi di Indonesia. Untuk itu, Human Rights Law Studies (HRLS) mengadakan webinar pada Sabtu sore (21/11/2020) yang menyajikan tema “Masyarakat Adat dan Lingkungan Hidup dalam Himpitan UU Cipta Kerja”. Webinar ini mengundang Direktur Advokasi, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman.

Materi yang diberikan oleh Arman berkutat pada pemikiran bahwa UU Ciptaker semakin menghimpit perlindungan masyarakat adat di Indonesia yang sebelumnya juga masih sangat terbatas perlindungannya. Ia menuturkan bahwa dalam UU Ciptaker, pengakuan masyarakat adat hanya sebatas melalui peraturan daerah. Hal ini menjadikan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hukum Masyarakat Adat semakin jauh dari prioritas Pemerintah Indonesia.

Pasal yang membolehkan masyarakat adat rentan dikriminalisasi menurut Arman adalah Pasal 92 ayat (1) di klaster UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Disitu tertuang norma bahwa siapapun dengan sengaja dapat diancam dengan denda atau tindak pidana apabila melakukan kegiatan perkebunan tanpa Perizinan Berusaha di kawasan hutan.

“Dengan norma baru yang diberlakukan ini, masyarakat adat yang telah turun temurun melakukan kegiatan perkebunan di kawasan hutan akan rentan untuk dikriminalisasi karena mereka tidak memiliki izin tersebut. Mengurus izin tersebut juga sepertinya mustahil karena ya, mereka berkebun bukan untuk kegiatan ekonomi, namun untuk kehidupan sehari-hari,” terangnya.

Arman juga menunjuk Pasal 34A dalam klaster UU Penataan Ruang sebagai contoh lain dari politik hukum UU Ciptaker yang memberantas apa saja, termasuk hak masyarakat adat, atas nama investasi. Perubahan rencana pemanfaatan ruang dalam pasal tersebut tetap dapat dilaksanakan dan dirubah sekalipun belum termuat dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi.

“Ini pasal pamungkas yang akan mengabaikan tata ruang provinsi, kab/kota, RDTR, kawasan strategis nasional dan rencana zonasi, jika Pemerintah Pusat menghendaki pemanfaatan ruang. Bagi masyarakat adat, pasal ini sangat berbahaya, ditengah ketidakpastian pengakuan hukum atas wilayah adatnya, ketentuan ini akan memperkuat semesta perampasan wilayah masyarakat adat,” ujarnya.

Dalam webinar ini, HRLS juga mengundang perwakilan dari Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) dan Pakar HAM UNAIR Herlambang P. Wiratraman.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).