Deteksi Dini Pada Penderita Tuli Kongenital

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Seperti yang kita ketahui, deteksi dini terhadap fungsi indera bayi merupakan langkah awal yang cukup krusial dalam menentukan arah dan tingkat keparahan penyakit kedepannya. Dari deteksi dini, kita bisa dengan lebih mudah memberikan terapi mana yang sesuai bahkan sebelum penyakit itu berprogres menjadi lebih berat.

Pendengaran merupakan salah satu panca indera yang dimiliki manusia dan erat sekali hubungannya dengan kemampuan berbicara, maka apabila terdapat abnormalitas pada anak balita atau anak yang ditunjukkan saat kelahiran akan mengarah pada gangguan pada kemampuan berbicara, yang jika dilihat dampak lebih luasnya lagi dapat berdampak pada fungsi kognitif, sosial dan  akademik pasien.

Begitupula pada kelainan tuli kongenital, yang jika dideteksi lebih dini dapat memberikan peluang lebih besar untuk pengembalian fungsinya. Pada beberapa negara, prevalensi anak terlahir dengan kondisi tuli kongenital berkisar antara 1 hingga 3 bayi dari jumlah total 1000 kelahiran. Sedangkan berdasarkan data yang terkumpul oleh Departemen Kementerian Kesehatan Repubik Indonesia tahun 2017, terdapat sembilan provinsi di Indonesia dengan prevalensi tuli kongenital pada umur lebih dari lima tahun yang melebihi persentase nasional (2.6%) diantaranya pada provinsi Yogyakarta, Sulawesi Barat, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur.

Seringkali deteksi tuli kongenital sudah terlambat, bahkan pada diagnosis tuli kongenital sedang hingga berat diagnosis baru ditegakkan pada umur 2.5 tahun, saat balita dan anak sudah dapat bereaksi terhadap suara keras, tertawa, dan ocehan. Joint Committee on Infant Hearing merekomendasikan deteksi tuli kongenital seharusnya dilakukan sebelum umur 3 bulan dan intervensi harus ditegakkan sebelum anak berumur 6 bulan.

Screening atau deteksi dini bertujuan untuk meminimalisir masalah terkait kesehatan, pendidikan, dan kualitas hidup anak. Deteksi dini dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu dengar (hearing aid) dan implantasi koklear. Intervensi ini dapat membantu memberikan stimulasi auditori pada anak yang kelak akan mempengaruhi kemampuannya berbicara. Walaupun alat bantu dengar merupakan pilihan intervensi yang cenderung lebih terjangkau dan murah tetapi banyak masyarakat Indonesia yang tidak mampu untuk membelinya. Selain itu, anak dapat diberikan terapi intervensi berupa melatih kemampuan berbicara anak atau terapi yang dapat mendeteksi suara sehingga mampu untuk berkomunikasi. Pernyataan tersebut sesuai dengan data penelitian yang dilakukan oleh Aprilianti, Purnami, dan Puspitasari mengenai Profil Deteksi dan Intervasi pada Anak dengan Tuli Kongenital di Klinik Audiologi Rumah Sakit Umum dr Soetomo. Aprilianti et al mengambil data persentase dan pola intervensi pada kasus tuli kongenital anak dari rekam medis Klinik Audiologi Departemen Telinga Hidup Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Rumah Sakit Umum dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2015 hingga 2017. Terdapat 44 pasien yang dideteksi memiliki kelainan tuli kongenital. Golongan usia terbanyak adalah lebih dari 60 bulan, yaitu sekitar 12 pasien. Dan yang paling sedikit adalah dibawah 12 bulan. Dapat ditarik kesimpulan, bahwa screening tuli kongenital masih rendah, karena terdapat banyak pasien yang baru terdeteksi tuli kongenital berumur lebih dari 60 bulan. Hal ini dapat mempengaruhi intervensi dan kemampuan berkomunikasi pasien yang tidak optimal. Studi lain juga mengungkapkan, pasien dengan tuli kongenital yang terdeteksi lebih dini lalu menerima intervensi kurang dari 6 bulan memiliki kemampuan berbicara lebih baik yang ditunjukkan selama pendidikan di sekolah dan produktivitas di tempat kerja dari pada gangguan pendengaran yang terdeteksi rendah dan diperoleh intervensi pada usia 6 bulan.

Selain itu banyak pula pasien dengan tuli kongenital yang hanya menerima terapi wicara dikarenakan keterbatasan ekonomi yang juga disebebakan oleh tidak adanya dana kesehatan dari pemerintah untuk pemasangan alat bantu dengar. Keterlambatan dalam rujukan ke rumah sakit dapat dikorelasikan dengan kurangnya kesadaran dan kewaspadaan mengenai deteksi dini dan program intervensi yang dapat dilakukan. Juga terdapat beberapa tantangan berupa mahalnya harga implantasi koklear dan alat bantu dengar yang berelasi erat dengan sistem asuransi kesehatan (BPJS) di Indonesia. Maka dari itu, support dan awareness keluarga bereperan penting pada deteksi dini dan intervensi yang kelak akan dilakukan.

Penulis: Dr. Nyilo Purnami, dr., Sp.THT-KL(K)

Detail tulisan ini dapat dilihat di :

http://medicopublication.com/index.php/ijphrd/article/view/9431

Jurnal : Indian Journal of Public Health Research & Development

Judul : Profile of Detection and Intervention in Children with Congenital Deafness in Audiology Clinic Dr. Soetomo Hospital

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).