Remaja Obesitas: Diet dan Profil Inflamasi sebagai Penanda Awal Atherosclerosis

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Grid.id

Di masa remaja asupan nutrien sangat penting guna mendukung pertumbuhan, perkembangan dan kematangan seksual. Namun demikian ketidak seimbangan antara asupan energi dengan energi ekspenditur menjadi masalah Kesehatan epidemik di negara berkembang, terutama Indonesia. Ketidak seimbangan energi yang bersifat berlebih diyakini menjadi sebab obesitas. Kondisi ini mudah berkembang menjadi penyakit metabolik karena inflamasi kronik akibat pelepasan sitokin pro-inflamasi yang terjadi di jaringan lemak, terutama jaringan lemak perut atau lebih dikenal dengan obesitas perut, dan menjadi faktor resiko penyakit kardiometabolik. Namun demikian diet dan nutrisi merupakan faktor penyebab obesitas yang mampu diperbaiki dengan diet yang tepat disertai aktivitas fisik.

Komplikasi obesitas disebabkan oleh akumulasi lemak berlebih yang menyebabkan dislipidemia sekunder, pada anak ditandai kadar trigliserida yang tinggi dan kadar kolesterol high-density lipoprotein (HDL-c) yang rendah, sehingga menyebabkan perkembangan penyakit kardiovaskuler. Jaringan adiposa bertindak sebagai organ endokrin dan mensekresikan adiposit yang mampu bertindak baik secara endokrin, parakrin dan autokrin yang bekerja sistemik dan lokal. Namun kondisi hyperplasia (jumlah adiposit yang banyak) dan hipertrofi (ukuran yang besar) sehingga menghasilkan dan melepaskan sitokin pro-inflamasi dan menginduksi stress oksidasi dan inflamasi, diantaranya TNF-α, IL-6, dan hsCRP.

hsCRP merupakan salah satu sitokin pro-inflamasi yang mempengaruhi elastisitas dan ketebalan pembuluh darah arteri, dan menjadi penanda awal perkembangan atherosklerosis. Proses ini dimulai ketika masa anak-anak berkembang ke masa remaja dan memburuk pada masa dewasa dan menjadi penyebab terjadinya gagal jantung serta kematian dini. Hipertrigliseridemia dan BMI berhubungan dengan tingginya kadar hsCRP yang banyak dialami oleh pasien dengan penyakit arterial perifer, yang menunjukkan adanya proses inflamasi di dinding pembuluh darah, karenanya kadar hsCRP lebih dari 3 mg/l dikategorikan “mengalami kenaikan” dan harus mendapatkan terapi statin, karena meningkatkan resiko penyakit jantung sebesar 1,45 kali.

hsCRP secara signifikan lebih tinggi pada penderita obesitas, namun kadar rata-ratanya kurang dari 3 mg/l, yang disebabkan kadar hsCRP dipengaruhi negatif oleh anti-oksidan. Kadar hsCRP dapat meningkat pada penderita metabolik sindrom, resistensi insulin dan penyakit metabolik. Sementara TNF-α merupakan sitokin pro-inflamasi yang dihasilkan oleh makrofag dan sel T limfosit. Kenaikannya berhubungan dengan resistensi insulin dan resiko sindrom metabolik. Namun ketika kadar hsCRP pada remaja obesitas dihubungkan dengan asupan diet (energi total, protein, karbohidrat dan lemak) tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik.

Ketidak seimbangan diet yang ditandai dengan kelebihan asupan energi, lemak dan karbohidrat teramati pada remaja penderita obesitas. Kelebihan asupan lemak dan karbohidrat berhubungan dengan inflamasi, dan mempengaruhi ekspresi sitokin pro-inflamasi terutama TNF-α. Konsumsi asam lemak kaya akan long-chain poly-unsaturated fatty acid atau PUFA mampu menurunkan ekspresi sitokin pro-inflamasi tersebut, bahkan dalam tingkat gen seperti TNF-α. Omega-3 di dalam PUFA mampu meregulasi trigliserida di dalam darah dengan menurunkan produksi very-low density lipoprotein atau VLDL dan memperbanyak β-oksidasi di dalam hepar. Omega-3 juga meningkatkan pengambilan asam lemak plasma dan menurunkan glikolisis seluler, sehingga mampu menurunkan produksi sitokin pro-inflamasi oleh makrofag di jaringan adiposa.

Kadar hsCRP secara signifikan berhubungan dengan obesitas sentral, diet restriksi karbohidrat dan lemak untuk penurunan berat badan dengan asupan tinggi protein mampu menurunkan kadar hsCRP secara bermakna pada wanita dan mampu memperbaiki profil lipid penggunanya, terutama peningkatan kadar HDL-c dan penurunan LDL-c sehingga dapat menurunkan resiko penyakit jantung di masa dewasa.

Dari pemaparan diatas diambil kesimpulan diet dan nutrisi berperan penting dalam mengendalikan faktor pro-inflamasi pada obesitas, meskipun tidak ditemukan adanya pengaruh asupan diet terhadap kadar hsCRP pada penelitian yang telah dilakukan disebabkan adanya bias. Diduga remaja obesitas cenderung melaporkan angka asupan makan lebih kecil dari sebenarnya.

Penulis: Nur Aisiyah Widjaja dan Roedi Irawan

Informasi lengkap dari artikel ini dapat diakses pada laman berikut: http://chimie-biologie.ubm.ro/carpathian_journal/Vol_11(5)_2019.pdf

(Dietary intakes and high sensitivity CRP (hsCRP) in adolescents with obesity)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).