PUKAT UGM Refleksikan Satu Tahun Revisi UU KPK pada Webinar BEM FH UNAIR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Yuris Rezha Kurniawan, seorang peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada. (Dok. Pribadi)

UNAIR NEWS – Terhitung sudah satu tahun berlalu sejak revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) diketok oleh DPR yang disambut oleh berbagai penolakan dari masyarakat dan akademisi serta unjuk rasa mahasiswa yang termasif sejak Peristiwa 1998. Untuk merefleksikan kinerja KPK sejak revisi tersebut, BEM FH UNAIR mengundang Yuris Rezha Kurniawan, seorang peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM (PUKAT UGM), pada Webinar Krisis Demokrasi yang bertajuk “Menerka Arah Demokrasi di Indonesia: Masihkah Ia Berpihak Kepada Rakyat?”pada Minggu sore (18/10/2020).

Sebagai bentuk refleksi, Yuris mengajak audiens untuk mengingat kembali bahwa revisi UU KPK sebagai bentuk titik balik sebagai garda terdepan dalam pemberatasan korupsi di tanah air yang sudah membludak menjadi lembaga antikorupsi yang terkebiri. Ia menambahkan bahwa kekecewaan dan penilaian publik bahwa KPK sudah lemah tentu saja datang dari regulasi revisi yang mereduksi independensi KPK itu sendiri.

“Memasukkan KPK ke rumpun kekuasaan eksekutif adalah salah satu cara untuk mereduksi independensi KPK yang sebelumnya merupakan lembaga independen yang berdiri sendiri. Kehadiran Dewan Pengawas yang kewenangannya dalam ranah penegakan hukum dan status kepegawaian KPK diubah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Jadi KPK sekarang tidak berbeda dengan organ cabang kekuasaan, bukan lagi lembaga independen,” tutur alumni Universitas Gadjah Mada itu.

Berdasarkan indikator dari PUKAT UGM, Yuris menilai bahwa KPK tidak lagi optimal dalam menangani kasus-kasus strategis. Hal ini dapat dilihat bahwa KPK tidak mengambil peran dalam kasus-kasus korupsi seperti Korupsi Jiwasraya dan Djoko Tjandra. Menurunnya kepercayaan publik terhadap KPK juga menjadi sangat bahaya menurut Yuris karena isu revisi ini sudah menghantui KPK sejak awal 2010 dan mengapa butuh waktu selama ini untuk menjadi suatu produk hukum adalah karena kepercayaan publik yang tinggi.

“Senior saya di PUKAT UGM, Mas Uceng (Zainal Arifin Mochtar) mengatakan bahwa KPK sekarang telah memasuki era new normal tersendiri akibat dari revisi yang menjadikan suatu titik balik itu. Kita bisa melihat dengan jajaran pimpinan KPK yang sarat dengan kepentingan dan sejumlah pegawai KPK mengundurkan diri akibat berubahnya status kepegawaian KPK,” kutip mantan Ketua Dewan Mahasiswa Justicia itu.

Peneliti PUKAT UGM itu mengatakan bahwa revisi UU KPK ini seakan membuka kedok buruk terkait penyusunan regulasi di Indonesia. Skenario untuk mengetok produk hukum yang bermasalah terus dilanjut oleh DPR dan pemerintah selalu bersembunyi dalam kedok bahwa maksud pemerintah pasti baik dan demi kesejahteraan rakyat tetapi tidak pernah memberi jawaban yang benar-benar memadai.

“Apabila saya menerka kemana arah demokrasi dan khususnya terhadap pemberantasan korupsi, sudah jelas lagi kita berjalan mundur,” tegasnya.

Yuris sungguh menyayangkan kemunduran ini karena apabila disejajarkan dengan semangat Pemerintah Indonesia untuk menggenjot investasi asing dengan Omnibus Law Cipta Kerja menjadi tidak relevan. Ia menambahkan bahwa studi berkata bahwa alasan utama mengapa investor asing enggan menanamkan modal di Indonesia adalah menjamurnya korupsi di negeri ini, bukan isu ketenagakerjaan.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).