Pengaruh Transmisi Lingkungan terhadap Kejadian Kasus Kusta pada Anak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Gooddoctor.co.id

Kusta merupakan salah satu penyakit yang termasuk dalam penyakit terabaikan (Neglected Disease) yang masih harus mendapatkan perhatian karena masih menimbulkan masalah. Masalah yang ditimbulkan oleh  kusta terutama terjadi apabila terlambat terdeteksi sehingga mengakibatkan kecacatan permanen, timbulnya kecacatan ini seringkali menjadikan stigma sosial dan kerugian ekonomi. Hal tersebut dapat mengurangi produktivitas sumber daya manusia karena stigma masyarakat yang tinggi. Kustapun bisa mengancam anak-anak yang tinggal di daerah tersebut dikarenakan sistem imunitas pada anak-anak yang masih belum sempurna dan transmisi penularan di daerah endemis kusta yang masih cukup tinggi.

Berdasarkan Global Leprosy Strategy 2016-2020, pemberantasan kusta difokuskan pada deteksi dini kasus sebelum kecacatan tampak terjadi. Fokus khusus diberikan pada anak-anak sebagai cara untuk mengurangi kecacatan dan penularan. Target global adalah nol kecacatan di antara pasien baru kusta anak pada tahun 2020.

Jawa Timur masih menjadi provinsi dengan penderita kusta tertinggi, tersebar di 37 kabupaten/kota. Daerah endemis kusta di Jawa Timur masih mengelompok sebagian besar di pantai utara Jawa Timur, sedangkan di pantai selatan prevalensinya rendah (3). Indonesia masih melaporkan adanya penyakit kusta baru dengan 84,5% kasusnya berjenis Multi Basiler (MB). Kasus baru setiap tahun 8,9% adalah anak-anak dan dari kasus anak ini diketahui 6,7% kasus mengarah pada kecacatan.

Daerah endemik kusta di Indonesia tersebar tidak merata. Wilayah Jawa Timur, daerah ini dinamakan daerah kantong (pocket) kusta karena berkelompok di sekitar pantai utara dan pulau Madura. Dari posisi daerah kantong yang memiliki angka prevalensi yang tak kunjung bebas dari kusta ini, diduga faktor lingkungan berperanan penting terhadap pola transmisi persebaran kusta.  Lingkungan bisa menjadi salah satu reservoir penularan penyakit kusta karena terkait dengan sifat kuman kusta yang merupakan bakteri obligat intrasel, atau tidak dapat hidup bebas hingga menemukan inang baru.

Kajian epidemiologi penyakit kusta pada anak dapat memberikan gambaran tentang aspek penting lingkungan, khususnya pola pengaruh penularan kusta di daerah endemis, karena anak-anak memiliki mobilitas yang lebih rendah dibandingkan orang dewasa. Dari masalah kusta tersebut, dilakukan penelitian pada anak-anak sekolah yang dilakukan di salah satu daerah endemis dan daerah non endemis kusta di Jawa Timur.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Adriaty dkk. (2020), melalui uji serologik ELISA dan uji PCR, pada anak-anak di daerah endemis didapatkan respon imun terhadap antigen Phenolic glycolipid-I (PGL-1), antigen spesifik dari kuman Mycobacterium leprae, lebih tinggi dibanding daerah non endemis yakni sebesar 48,3% dan juga didapatkan hasil PCR yang lebih tinggi pula yakni 21,4% jika dibandingkan dengan situasi anak-anak yang berada di daerah non endemis. Adanya DNA Mycobacterium leprae pada usap hidung dan respon imun dari seropositif antibodi IgM anti PGL-1 pada anak SD dapat menggambarkan paparan Mycobacterium leprae di daerah tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian, anak-anak yang berada di daerah endemis lebih berisiko tertular Mycobacterium leprae minimal 5 kali berisiko dibandingkan daerah non endemis. Faktor lingkungan dapat menjadi sumber penularan penyakit kusta di daerah endemis. Berdasarkan beberapa laporan penelitian yang sebelumnya dilakukan di daerah endemis kusta di Indonesia menunjukkan bahwa didapatkan DNA positif Mycobacterium leprae pada air yang dikonsumsi sehari-hari serta didapatkan variasi genotipe DNA M. leprae yang terdeteksi dari air, penderita kusta dan kontak serumah serta penduduk sehat di wilayah tersebut adalah sama. Dapat disimpulkan bahwa faktor lingkungan, agen dan pejamu di daerah endemis kusta saling berkaitan erat.

Kusta subklinis pada anak harus diperhatikan karena dapat pula berperan menjadi sumber penularan yang juga potensial dalam penularan kusta, baik di daerah endemis maupun kasus impor di daerah non endemis kusta, walaupun secara klinis belum bermanifestasi sebagai kusta, namun harus kemudian dilakukan pemantauan. Individu sehat yang kontak serumah harus dievaluasi setiap tahun selama minimal lima tahun dan diberikan penyuluhan dan perhatian segera jika terdapat perubahan kulit atau neurologis yang dicurigai merupakan gejala kusta. Oleh karena itu, edukasi masyarakat tentang kusta disertai dengan pemantauan dan survei pada narakontak serumah dan anak-anak sekolah yang dilaksanakan secara nasional akan mampu membantu menurunkan kejadian sekaligus upaya pencegahan terhadap terjadinya kasus kusta baru di Indonesia.

Penulis: Dinar Adriaty, S.Si, M.Kes

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://www.scopus.com/inward/record.uri?eid=2-s2.0-85090439232&doi=10.4081%2fidr.2020.8748&partnerID=40&md5=69b3ac0983a91fc218895b2c0160b732

(LEPROSY TRANSMISSION IN  ENDEMIC AND NON ENDEMIC AREAS BASED ON THE PROFILE OF ANTIBODY RESPONSE OF  PGL-1 AND PCR DETECTION OF Mycobacterium leprae DNA FROM NASAL SWAB AMONG HEALTHY CHILDREN OF  EAST  JAVA  INDONESIA. Infectious Disease Reports 2020; vol 12 (s1):8748)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).