Layanan referensi virtual sudah banyak diimplementasikan di luar Indonesia sejak tahun 2000an, namun di Indonesia sendiri masih belum banyak perpustakaan perguruan tinggi yang mengimplementasikan layanan referensi digital atau virtual ini. Beberapa perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia sudah memanfaatkan web 2.0 untuk mendukung promosi layanan, namun belum diulas lebih lanjut mengenai layanan referensi. Beberapa teknologi yang diimplementasikan pada referensi virtual yakni aplikasi chat yang bisa digunakan oleh user untuk berkomunikasi dengan pustakawan dapat memudahkan akses ke layanan referensi. Bahkan ada juga perpustakaan yang menyediakan ‘robot’ untuk menjawab pertanyaan referensi. Ada juga yang memanfaatkan berbagai macam web search engine untuk mendukung layanan referensi virtual di perpustakaan. Melihat kondisi di atas, maka peneliti ingin melakukan evaluasi layanan referensi virtual pada perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia.
Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh perpustakaan perguruan tinggi yang ada di Indonesia, dari berbagai macam perguruan tinggi peneliti memilih universitas karena terkait dengan penelitian ini yakni layanan referensi untuk mendukung research university. Jumlah universitas sebanyak 629. Setelah itu peneliti melakukan web survey untuk menentukan sampel, syarat yang diambil antara lain memiliki layanan referensi virtual dalam bentuk chat, sosial media, atau e-mail. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel seluruh universitas yang terdapat di Indonesia sebanyak 629 universitas. Data diambil dari forlap DIKTI yang diambil pada bulan Agustus-Oktober 2018. Alasan pengambilan sampel dibatasi pada Universitas mengingat universitas adalah ujung tombak penelitian untuk pengembangan ilmu yang membutuhkan dukungan sumber pengetahuan dari perpustakaan. Sehingga, peran perpustakaan dalam menyediakan sumber ilmiah sangat diperlukan baik secara langsung maupun secara online.
Layanan referensi berevolusi sejak kemunculan internet, encyclopedia menjadi wikipedia, kamus menjadi kamus elektronik, peta menjadi google map, dan lain-lain. Hal ini kemudian ditangkap oleh perpustakaan bahwa informasi ada disekeliling kita tidak hanya yang terdapat di dalam rak perpustakaan. Demikian juga mengubah cara interaksi pengguna dan pustakawan, dimana face to face berubah menjadi IM, chat, dan video chat. Perubahan tersebut belum ditangkap oleh seluruh perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia, hanya sebagian saja yang sudah memanfaatkan layanan referensi virtual. Layanan face to face masih banyak mendominasi mengingat mudah dilakukan dan mendapatkan feedback secara langsung. Hal ini sama dengan temuan di Nigeria, dimana pengguna layanan referensi pada perpustakaan universitas lebih memilih layanan face to face dibanding dengan chat, IM, e-mail, karena kurangnya fasilitas internet, kurangnya kemampuan teknologi informasi, sering mati listrik, kurangnya sumber referensi elektronik.
Kekurangan tersebut juga yang menyebabkan perpustakaan belum mengembangkan layanan referensi virtual. Dalam layanan referensi virtual membutuhkan komponen pengguna, interface (website), e-resources, pustakawan. Komponen tersebut sangat penting dalam pemenuhan layanan referensi virtual dan jika tidak didukung oleh kebijakan perpustakaan maka akan menjadi inefektif. Adanya infrastruktur yang memadai seperti koneksi internet dan jaringan listrik yang stabil sangat penting disini, demikian juga dengan e-resources yang memadai, dan pustakawan yang mampu memberikan solusi bagi pengguna secara online. Peran pustakawan menjadi penting sehingga membutuhkan skill yang cukup antara lain kemampuan dasar komputer, kemampuan chat software, komunikasi, layanan informasi, kebijakan layanan, multi tasking, kolaborasi, etika, quick thinking skills.
Dalam memberikan layanan referensi, pustakawan juga harus mengutamakan aspek humanistik dalam referensi virtual, sehingga pengguna tetap merasakan pengalaman yang sama dengan ketika mereka face to face. Dalam layanan referensi virtual pustakawan juga diharapkan lebih mengutamakan fungsi konseling. Dalam konseling terdapat tiga aspek yakni mindfulness, authentication, dan emotional intelligence yang nanti menghasilkan komunikasi transformational daripada hanya sekedar transaksional. Pustakawan harus dapat berkomunikasi dengan pengguna yang berasal dari berbagai macam background dan berbagai media. Namun yang terjadi, banyak chat dalam virtual referensi yang masih transaksional, bukan mengarah ke literasi informasi yang mencakup kualitas tinggi, meningkatkan student learning, step by step rekomendasi.
Evaluasi layanan referensi virtual khususnya teknologi dan pertanyaan referensi virtual di Indonesia masih pada tahap awal atau baseline, dimana perpustakaan masih banyak yang menggunakan media telepon dan e-mail. Namun sudah mulai ada beberapa perpustakaan yang mengusung konsep modern terkait layanan referensi dan mengadopsi teknologi yang semakin bervariasi. Layanan referensi virtual perlu untuk dilanjutkan guna menyediakan pembelajaran bagi generasi milenial. Layanan referensi virtual di Indonesia hanya di adopsi oleh universitas besar baik negeri maupun swasta dimana web universitas sudah bagus, web perpustakaan sudah lengkap, memiliki sumber daya manusia yang mumpuni. Pertanyaan referensi juga masih terbatas pada pertanyaan mengenai perpustakaan secara umum, belum menyentuh pertanyaan ilmiah yang mendukung penelitian di universitas.
Penulis: Nove E. Variant Anna, S.Sos., MIMS
Berikut adalah link artikel terkait tulisan di atas: https://digitalcommons.unl.edu/libphilprac/3583/