Gubes UNAIR Paparkan Ancaman Global Resistensi Antimikroba

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Media Indonesia

UNAIR NEWS – Resistensi Antimikroba atau Antimocrobial Resistance (AMR) diakui sebagai salah satu tantangan kesehatan masyarakat global yang utama, termasuk di Indonesia. Saat ini, baik di rumah sakit maupun di komunitas penyebaran selalu terjadi. Di dalam konsep secara umum, baik di tingkat nasional maupun internasional, WHO sebagai organisasi kesehatan dunia dan kementerian kesehatan sepakat menyatakan bahwa ada dua sebab utama munculnya Antimicrobial Resistance yaitu selective pressure karena penggunaan antibiotik yang kurang bijak dan yang kedua penyebaran resisten antar pasien dan petugas.

AMR diprediksi oleh Jim O Nil, seorang pakar mikrobiologi berkebangsaan Inggris akan terus meningkat dan diprediksi pada tahun 2050 jika tidak ada tindakan yang jelas untuk pengendalian AMR, kematian akibat agen infeksius dapat mencapai 10 juta orang per tahun atau setara dengan kerugian 100 triliun dolar Amerika. Prof. Dr. Kuntaman, dr., MS., SpMK (K)., pada kegiatan webinar yang dilaksanakan oleh Airlangga Disease Prevention and Research Center (ADPRC) menyampaikan, AMR dapat dikatakan mirip dengan COVID-19, dimana sumber-sumber yang ada jika tidak dikendalikan berpotensi untuk menyebar di seluruh dunia.

“Jadi yang diharapkan saat ini adalah bagaimana kita melakukan pembatasan atau demerkasi dari sekala kecil maupun besar di seluruh dunia dan Alhamdulillah hal tersebut sudah menjadi komitmen PBB dan menjadi tanggungjawab negara di seluruh dunia,” ujar Prof. Kuntaman pada Sabtu (19/9).

Persepsi dibidang kesehatan manusia, lanjutnya, bahwa orang kalau badannya panas minum antibiotik adalah salah satu contoh penyalahgunaan antibiotik. Di rumah sakit sekalipun, abuse antibiotics juga sering terjadi karena kesalahan dalam memahami penggunaan antibiotik. Pada dasarnya, fungsi antibiotik hanya satu, adalah untuk mengobati penyakit Infesius. Tetapi ada hal-hal lain, sambung Prof. Kuntaman,  yang menjadi kesalahan di masyarakat yaitu antibiotik digunakan untuk mencegah.

“Tindakan tersebut tidak boleh dilakukan, tetapi masih saja terjadi dimana-mana,” tandasnya.

Perhatian lain yang tidak dapat dikecualikan yaitu sektor industri peternakan. Menurutnya, dalam beberapa tahun sebelum adanya peraturan menteri pertanian nomor 14 tahun 2017 terhadap pelarangan penggunaan antibiotik pada pakan hewan, persepsi penggunaan antibiotik adalah agar hewannya cepat gemuk atau tidak mudah terserangpenyakit. Hal tersebut merupakan kesalahan karena dapat menimbulkan residu antibiotik.

Pada saat ini, sambungnya, ada beberapa indikator penyebab munculnya AMR baik di rumah sakit maupun di komunitas. ESBL atauextended-spectrum beta-lactamases menjadi salah satu indikator yang diresmikan oleh WHO dan lembaga kesehatan lainnya sebagai sumber pencemaran di manusia. Indikator lainnya yaitu MRSA (methicilin-resistant Staphylococcus aureus) yang sudah lazim di manusia serta Carbapenem-resistqnt Enterobacteriaceae (CRE) yang apabila terjadi maka tidak ada lagi pengobatannya.

“Jika AMR tidak segerateratasi, pernyataan para ahli bahwa mungkin AMR bisa berakibat seperti pandemi COVID-19 saat ini, namun dengancaseyang berbeda, dimana terjadi di rumah sakit, setiap orang yang sakit tidak ada lagi obatnya dan berujung pada kematian,” ujar alumni post-doctoral Erasmus University Medical Center, Roterdam.

Sebelum mengakhiri pembicaraan, Pof. Kuntaman berpesan agar dapat belajar dari COVID-19 saat ini. “Supaya AMR tidak menjadi bom waktu dikemudian hari, mulai saat ini, kita perlu merubah perilaku dan lebih bijak dalam penggunaan antibiotik,” pungkasnya. (*)

Penulis: Muhammad Suryadiningrat

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).