Kampanye Politik dan Media Sosial: Cara Media Sosial Mengubah Tataran Politik dan Demokrasi di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Linovhr.com

Media sosial telah mengubah tataran kehidupan kita, dan tidak terkecuali dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Apa yang media sosial telah lakukan terhadap kehidupan demokasi kita, masih belum banyak diperbicangkan. Kita perlu mengetahui lebih dahulu sejarah demokrasi di Indonesia, dari era perjuangan sampai reformasi, untuk melihat signifikansi media sosial dalam proses demokrasi kita. Artikel ini berfokus kepada perkembangan media sosial dalam konteks perpolitikan di Indonesia, dengan melihat kedalam dua tahapan. Tahap pertama adalah Ketika perkembangan teknologi di Indonesia mendukung terbentuknya komunitas virtual dan memiliki peran pada gerakan reformasi di tahun 1998. Tahap kedua adalah ketika media sosial mampu menciptakan budaya partisipatif dan politik aktif pada pemilihan umum di tahun 2008 dan selanjutnya. Argumen terpenting dalam artikel ini adalah bagaimana media social telah menciptakan polarisasi dan divisi dalam dunia perpolitikan secara global.

Bagaimana media sosial mengubah tataran politik dan demokrasi di Indonesia?

Sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia dimulai pada tahun 1945, dilanjutkan dengan penerapan demokrasi liberal di tahun 1950 yang berakhir pada tahun 1957. Kala itu, presiden pertama Indonesia, Soekarno, memperkenalkan demokrasi terpimpin, dimana tujuannya adalah untuk menciptakan stabilitas. Media, secara umum, memiliki peranan dalam setiap tahapan perpolitikan di Indonesia. Radio memiliki peran yang sangat penting dalam perebutkan kemerdekaan Indonesia, dimana presiden Soekarno menggunakannya untuk melakukan konsolidasi politik. Semangat nasionalisme yang disuarakan melalui stasiun radio memiliki peran penting dalam meningkatkan semangat kebangsaan melawan penjajah. Radio juga memiliki peran dalam mendukung konsolidasi politik yang mendukung lahirnya orde baru di pertengan tahun 1960.

Pada prinsipnya, semua media elektronik memiliki peran dalam memberikan legitimasi kekuasaan kepada kepempimpinan Soeharto di awal bangkitnya di tahun 1965. Media elektronik kemudian di politisisasi, dengan kontrol dan regulasi yang kuat dari pemerintahan Soeharto. Sampai pada awal abad ke 20 ketika internet mulai berkembang dan kemudian memiliki impact di dalam kesadaran sosial dan berpolitik di masyarakat. Namun, walaupun Indonesia memiliki regulasi yang mengatur media massa, pemerintah masih belum dapat mengontrol dan meregulasi Internet di awal awal kemunculannya.

Perlu dipahami dari sejarah reformasi dan perkembangan ekomomi di Indonesia, untuk memahami signifikansi media sosial di kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Bagaimana media sosial merubah tataran politik dan demokrasi di Indonesia dapat dilihat dalam dua tahap. Tahap pertama meliputi bagaimana media sosial mendukung terbentuknya komunitas virtual yang menggerakan demokrasi di tahun 1998, dan tahap kedua adalah bagaimana media sosial memiliki pengaruh terhadap kehidupan demokrasi setelah pemilihan umum di tahun 2008.

Tahap Pertama

Walaupun kampanye dengan menggunakan media sosial di Indonesia baru bermunculan selama pemilu di tahun 2009, namun internet sendiri telah memegang peranan penting sejak tahun 1998. Peran media sosial di dalam dunia politik dapat dilihat dari bagaimana elit politik menggunakan media tersebut untuk berkampanye, mengkritisi kinerja pemerintahan, dsb. Peran ini baru muncul dipermukaan ketika Indonesia memasuki era reformasi, dimana sebelum era reformasi, peran media sosial tidak begitu nampak karena media massa telah menjadi media yang mendominasi.

Sebelum era reformasi, era orde baru telah mendukung perkembangan teknologi dengan menyusun birokrasi yang mengatur penggunaan teknologi. Sebenarnya bukan masalah konten dari diskusi publik yang menjadi fokus, namun bagaimana setiap orang dapat mengekspresikan apapun tanpa adanya kekhawatiran melawan hukum. Perkembangan dari kebebasan media di kancah politik mengarah kepada hal yang positif karena dapat mengakomodasi kegiatan berkumpul dan berpendapat untuk komunitas, dan juga elit politik dan pemerintah.

Namun terdapat beberapa celah terkait dengan keterbatasan akses internet, dimana diantara kelompok yang memiliki akses dan yang tidak, menciptakan suatu kondisi dystopia yang mengawali munculnya era post-truth. Media sosial dapat menciptakan reputasi, baik atau buruk, secara cepat, yang kemudian memunculkan urgensi perlunya melihat kembali perbedaan level literasi digital yang ada di masyarakat.

Tahap Kedua

Media sosial memiliki peran yang berbeda dalam kontek pemilihan umum pada tahun 2014 di Indonesia, dan munculnya polarisasi setelah pemilihan presiden di tahun 2014. Dua kandidat presiden yang kala itu bertarung di pemilihan presiden Indonesia pada tahun 2014, kembali bertarung di pemilihan presiden pada tahun 2019, dimana pengaruh polarisasi menjadi semakin kuat. Identitas politik juga diperkuat oleh media sosial, sama halnya ketika internet memperkuat identitas politik didalam pergerakan politik di tahun 1998.

Sistem pemilihan yang hanya mempertemukan dua kandidat atau dua partai meningkatkan level ambiguitas dan menciptakan situasi yang komplek terutama bagi masyarakat yang belum memiliki pilihan politik. Hal tersebut terjadi pada pemilihan president tahun 2014 di Indonesia dan juga pemilihan presiden tahun 2016 di Amerika Serikat. Dengan munculnya kaum milenial yang dinamis dan dengan merubah persepsi politik mereka dengan cepat dibandingkan dengan kelompok generasi sebelumnya, membuat polarisasi posisi yang diambil oleh para kandidat menghasilkan ambiguitas yang terus meningkat. Media sosial dapat menciptakan perpecahan karena terdapat perbedaan yang signifikan di antara komunitas online dengan identitas politik mereka.

Secara umum, situasi retoris yang muncul dalam pemilihan presiden tahun 2014 di Indonesia mendukung premis bahwa Facebook telah mendukung kehidupan berdemokrasi dalam hal menyatukan masyarakat dengan tujuan yang berbeda beda. Sebagai sebuah platform, pengguna Facebook dapat membagi informasi personal dan juga dapat bergabung dalam beberapa grup yang memiliki ketertarikan tertentu. Hal ini menunjukkan signifikansi media sosial di dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia, dan bagaimana Facebook telah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dan mempengaruhi kehidupan berpolitiknya.

Namun, terdapat banyak kemunduran terhadap ideologi yang menekan kelompok yang memiliki pendapat yang berbeda, di dalam pemilihan presiden Amerika Serikat di tahun 2016, dan berlanjut di pemilihan lokal di Indonesia pada tahun 2017. Algoritma dan cookie menempatkan pengguna di dalam kelompok yang terpolarisasi berdasarkan apa yang mereka pahami, dan kebanyakan masyarakat tidak menyadari bahwa media sosial mengatur informasi apa yang mereka terima. Masyarakat secara tidak sadar menganggap bahwa pendapat yang berbeda dengan apa yang mereka pikirkan, dilihat sebagai sebuah ancaman, walau permasalahannya belum tentu tentang itu. Hal ini yang kemudian memunculkan urgensi untuk melanjutkan penelitian lebih jauh terkait digital rhetorics.

Penulis: Dina Septiani, Ph.D.
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan di: https://www.researchgate.net/publication/338100694_Social_media_campaigns_in_Indonesia_How_social_media_has_transformed_Indonesia’s_democratization_process_and_political_activity

(Social media campaigns in Indonesia: How social media has transformed Indonesia’s democratization process and political activity)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).