Ahli Ekologi Nyatakan Asia-Pasifik Darurat Sampah Plastik dalam INCOFIMS FPK ke-3

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Zoom kegiatan International Conference on Fisheries and Marine Science (INCOFIMS) yang ke-3. (Dok. Ivan Syahrial)

UNAIR NEWSIsu tentang degradasi lingkungan adalah salah satu dari banyak tantangan yang harus dihadapi guna mengembangkan sektor akuakultur yang berkelanjutan. Tidak dapat kita pungkiri, dengan meningkatnya aktivitas industri dan rumah tangga, secara signifikan memberikan berdampak negatif pada lingkungan dan secara langsung berdampak pada sektor perikanan dan akuakultur. 

Menanggapi isu tersebut, Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK) Universitas Airlangga mengangkat tema “Challenges and Strategies for Development of Sustainable Aquaculture and Fisheries”  pada International Conference on Fisheries and Marine Science (INCOFIMS) yang ke-3 pada Kamis (10/09). Konfrensi yang dilakukan melalui media Zoom tersebut dihadiri oleh berbagai kalangan baik dari peneliti, mahasiswa sampai para dosen dari berbagai kampus. 

Prof. Andrew Greig Jeffs yang merupakan salah satu pembicara utama dalam kesempatan tersebut mengungkapkan salah satu polutan laut yang paling banyak dan berbahaya adalah sampah plastik. Hampir 8 miliar ton sampah plastik terbuang ke laut tiap tahunya dan Indonesia digolongkan dalam zona merah produsen sampah plastik karena produksi sampah plastik >20%  dari total sampah plastik dunia.

“Plastik adalah pencemar terbesar didunia, hampir 8 miliar ton sampah plastik masuk ke laut dan asia pasifik adalah daerah dengan presentase tertinggi,” ungkap ahli ekologi dan kelautan Universitas Auckland, New Zeeland tersebut. “Jika hal tersebut dibiarkan, maka pada tahun 2050 jumlah sampah plastik di lautan akan lebih banyak dari pada jumlah ikan,” tambahnya.

Menurut Andrew, ada 3 langkah untuk menekan pencemaran sampah plastik. Pertama adalah mengembangkan metode untuk mendeteksi dan menghitung plastik dilaut. Kedua, menekan toksisitas plastik dengan membuat plastik ramah lingkungan. Serta mempelajari reaksi fisika-kimia plastik. 

“Ada tiga kunci untuk menekan sampah plastik yaitu membuat metode deteksi, menekan toksisitas saat pembuatan plastik serta mempelajaru interaksi antara plastik dengan lingkungan,” tutur Andrew.

Menutup pembicaraanya, selain isu sampah, Andrew mengungkapkan untuk mengembangkan akuakultur yang berkelanjutan diperlukan penelitian yang lebih luas tentang tantangan dan peluang isu akuakultur, membangun dasar riset yang kuat dan inovasi disektor akuakultur dan kolaborasi dari peneliti diseluruh dunia.

“Untuk mewujudkan akuakultur yang berkelanjutan, diperlukan pembangunan dasar riset dan inovasi yang kuat serta penelitian yang lebih luas terkait isu akuakultur dan yang paling penting adalah kolaborasi daari semua peneliti dunia,” Pungkasnya. (*)

Penulis: Ivan Syahrial Abidin

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).