Komplikasi Saraf pada Pasien dengan HIV/AIDS

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Kompas.com

Lebih dari 34 juta orang di seluruh dunia menderita HIV / AIDS, menurut UNAIDS 2019 Joint United Program HIV/AIDS. Sepertiga dari mereka yang didiagnosis HIV/AIDS adalah dilaporkan memiliki neuropati sistemik yang dapat disebabkan oleh virus itu sendiri, infeksi oportunistik, atau sebagai efek samping dari beberapa obat – obatan yang digunakan. Selama ini perawatan yang efektif untuk HIV/AIDS adalah dengan terapi Antiretroviral. Neuropati perifer adalah salah satu komplikasi neurologis infeksi HIV yang paling sering. Ini dikaitkan dengan beberapa pengobatan ARV di masa lalu (bukan saat ini). Gejala kondisi ini meliputi: mati rasa hingga level ekstrim, sensasi yang tidak biasa atau tidak dapat dijelaskan di tangan dan kaki, sensasi rasa sakit tanpa sebab yang dapat diidentifikasi, kelemahan otot atau kesemutan pada level ekstrim.

Pasien dengan HIV/AIDS dapat mengalami rasa nyeri kronis karena infeksi atau efek obat yang mereka konsumsi. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan rasa nyeri meliputi : peradangan dan kerusakan saraf yang disebabkan oleh infeksi, menurunnya sistem kekebalan tubuh atau efek samping dari pengobatan HIV. Mengobati rasa nyeri kronis ini sejatinya membutuhkan keseimbangan antara menghilangkan rasa sakit dan mencegah komplikasi. Kondisi – kondisi keluhan saraf inilah yang saat ini menjadi perhatian para klinisi dalam melakukan perawatan pasien HIV/AIDS. Di beberapa literatur mengatakan bahwa gejala kerusakan saraf perifer ini awalnya terkait dengan pajanan antiretroviral golongan NRTI, yang merupakan andalan dari rejimen pengobatan HIV di tahap awal, dan kemungkinan obat tersebut dapat merupakan neuropati toksik antiretroviral. NRTI juga diduga menyebabkan toksisitas mitokondria dengan cara yang tidak tergantung pada penipisan mtDNA.

Golongan analgesik yang direkomendasikan oleh WHO untuk manajemen nyeri dapat bermanfaat mengurangi keluan nyeri. Pengobatan alternatif tersebut adalah antikonvulsan, antidepresan atau kombinasi dua jenis obat seperti gabapentin dan long-acting morfin sulfat. Antioksidan juga telah terbukti mengurangi apoptosis neuron pada model neuron in vitro untuk neurotoksisitas yang diinduksi HIV, karena mitokondria adalah penghasil utama stres oksidatif, terutama mitokondria yang tidak berfungsi.Faktor neurotropik (BDNF) telah terbukti melindungi saraf dengan mendukung kesehatan mitokondria. BDNF juga melindungi neuron yang terpapar gp120. Sehingga temuan ilmiah ini diharapkan dapat berkembang di terapi klinik pasien – pasien neuropati dengan HIV?AIDS. Dapat disimpulkan bahwa neuropati sensorik terkait HIV adalah komplikasi yang sering terjadi pada infeksi HIV atau dengan terapi antiretriviral. Pemahaman tentang mekanisme dan patofisiologi neuropati pada HIV sangat dibutuhkan untuk mengembangkan modalitas pengobatan alternatif dan mengevaluasi strategi pencegahan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa blokade molekuler dapat mencegah nyeri neuropatik dan menyarankan jalur ini sebagai target potensial untuk agen farmakologis baru yang berguna dalam pengobatan profilaksis nyeri neuropatik antiretroviral.

Penulis: Saka Winias

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/odi.13398?af=R Winias, S, Radithia, D, Savitri Ernawati, D. Neuropathy complication of antiretroviral therapy in HIV/AIDS patients. Oral Dis. 2020; 26(Suppl.1): 149– 152. https://doi.org/10.1111/odi.13398

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).