Cerita Tiga Alumni Unair di Wisma Atlet: Lewatkan Kelahiran Anak hingga Tunda PPDS

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Bulan April lalu seharusnya menjadi momen yang membahagiakan bagi Muhammad Afif Shofwan Fa’iq. Sebab, ia dan sang istri berencana menyambut kelahiran anak pertama mereka bersama-sama. Namun, rencana itu terpaksa harus dibatalkannya.

Afif, sapaan akrabnya, mendadak menerima tugas dari satuannya, yakni Pusat Kesehatan Angkatan Darat (Puskesad) untuk menjadi tenaga medis di Rumah Sakit Darurat Corona (RSDC) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta. Sebagai dokter militer, ia pun tak bisa menolak.

“Setelah RSDC dipersiapkan, yang bergerak pertama adalah pihak militer (TNI, red). Waktu itu, istri saya hamil delapan bulan, terus ada panggilan, ya berangkat ninggalin dia. Mau nggak mau keluarga melepas saya untuk bertugas. Baru ketemu saat anak lahir,” ujarnya.

Afif masuk dalam tim satuan tugas gelombang dua. Ia mulai bertugas sejak akhir bulan April hingga pandemi corona selesai. Ketika pertama bertugas, fasilitas kesehatan yang tersedia belum berfungsi secara maksimal, sehingga mereka harus bekerja dengan kondisi seadanya. Tak hanya itu, jumlah dokter, baik dari militer maupun sipil juga masih terbatas.

“Dari cerita tim yang bertugas sebelumnya, satu dokter bisa menangani sampai dua ratus pasien. Kalau waktu saya, dokter sudah semakin banyak. Jadi, satu dokter pegang seratus pasien,” tutur alumnus Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga angkatan 2011 itu.

Memilih Jadi Relawan Sembari Menunggu Pendaftaran Spesialis

Andai pandemi virus corona tidak terjadi, Fauzan Illavi mungkin sudah menerima hasil seleksi pendidikan spesialis (PPDS) dari Universitas Indonesia sejak pertengahan April lalu.

Sayang, semua tak berjalan sesuai dengan yang dia harapkan. Namun, alih-alih kecewa atau marah, Fauzan justru terdorong untuk membantu proses penanganan pasien corona.

“Kebetulan, pada pertengahan Maret saya sudah mendapat informasi kalau RSDC sedang membuka kebutuhan relawan. Daripada nggak ngapa-ngapain, ya saya daftar,” ceritanya.

Ketika meminta izin untuk bergabung sebagai garda terdepan, orang tua Fauzan sempat terkejut. Keduanya berasumsi bahwa hal tersebut adalah keputusan yang sangat berisiko.

“Padahal, sebagai dokter saya tentu sudah mempertimbangkan risikonya. Kalau dinilai dari segi medis, ketersediaan alat pelindung diri (APD), tempat tinggal, akomodasi, dan jam kerja, di sana lebih jelas. Setelah tahu itu, orang tua lega. Lalu mengizinkan,” katanya.

Cerita serupa juga dialami oleh Made Pratithi Awidya Sambhawahasti, alumnus FK UNAIR angkatan 2010. Sama halnya dengan Fauzan, saat itu, perempuan yang biasa dipanggil Widya ini, tengah mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis.

“Karena corona, seleksi spesialis mundur. Kemudian, aku dapat info dari Fauzan kalau RSDC lagi cari relawan. Akhirnya, aku daftar. Keluarga awalnya nggak kasih izin karena mereka mikir tempat itu berbahaya, tapi kok aku malah ke sana?” ucapnya lantas tertawa.

Meski begitu, Widya tak menyerah. Ia akhirnya sukses mengantongi izin dari keluarganya.

“Motivasi lain yang membuatku ingin menjadi relawan RSDC adalah sumpah dokter. Aku ingat sumpah dokter yang berbunyi, teman sejawat harus diperlakukan seperti keluarga kandung. Relawan di sana saudaraku, masa aku biarkan mereka perang sendiri?” ujarnya.

Sabar Menghadapi Tantangan dan Sikap Pasien yang Beragam

Tidak hanya berat dalam meyakinkan dan meninggalkan keluarga, ketika bertugas, baik Afif, Fauzan, maupun Widya, juga harus menghadapi banyak tantangan di lapangan. Salah satu tantangan yang cukup berat adalah kewajiban penggunaan alat pelindung diri (APD).

“Setiap shift, kita harus pakai APD level tiga yang nggak boleh dicopot. Padahal, satu shift berlangsung selama delapan jam. Persiapannya saja memakan waktu satu jam. Belum lagi pas selesai shift, kita dekontaminasi dulu sampai dua jam. Baru bisa ke kamar,” bebernya.

Perasaan tak nyaman saat menggunakan APD untuk waktu yang lama turut dirasakan oleh Fauzan. Menurut dia, pakaian tersebut membuat pergerakan seseorang menjadi terbatas.

Selain permasalahan APD, kesabaran tiga alumni FK UNAIR ini juga diuji ketika harus menghadapi banyak pasien dengan sikap yang beragam. “Ya namanya pasien, ada yang kooperatif, ada yang tidak. Walaupun fasilitas RSDC sudah terbilang bagus, tapi masih ada yang komplain, tanya kapan pulang, atau kenapa hasil swab lama keluarnya,” ungkap Afif.

Begitu pula yang dialami Fauzan. Pemuda asal Bekasi itu pernah mendapati orang yang histeris setelah ditetapkan sebagai pasien dalam pemantauan (PDP). Bahkan, ia sampai harus meminta bantuan dari rekannya yang lain untuk meredakan emosi pasien tersebut.

Lain halnya dengan Afif dan Fauzan, Widya justru merasakan pengalaman mengharukan.

“Aku pernah dapat pasien umur 24 tahun yang positif corona. Dia cerita, kalau pacarnya meninggal karena corona. Padahal, akhir tahun nanti mau nikah. Atau ada pasien yang sudah sebulan dirawat di RSDC, tapi swabnya belum negatif, sementara anaknya masih kecil. Sedih banget dengernya,” kata perempuan yang ingin menjadi spesialis radiologi itu.

Terus Mengedukasi Di Tengah Kabar Negatif yang Berhembus

Meski kerap didera rasa letih, Afif bertekad untuk menjalankan tugasnya dengan sabar dan tak banyak mengeluh. Ia juga terus berupaya memberikan edukasi kepada pasien maupun masyarakat, walau masih ada yang menganggap virus corona sebagai konspirasi.

“Amankan masyarakat yang percaya dan doakan semoga lainnya segera sadar,” tuturnya.

Senada dengan Afif, Fauzan mengaku bahwa kini dirinya lebih memilih untuk menghemat energi, ketimbang meladeni masyarakat yang sukar diedukasi. Selain itu, dirinya berharap agar pemerintah lebih tegas dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan pandemi.

“Pemerintah harus jelas, maunya gimana? Jangan kayak kemarin, pulang kampung nggak boleh, mudik boleh. Informasi mengenai pandemi yang disampaikan kepada masyarakat harus valid. Kemudian, kesejahteraan tenaga medis juga perlu diperhatikan,” kata Fauzan.

Widya pun turut mengutarakan harapannya. Ia berharap agar masyarakat mendengarkan pihak yang lebih ahli soal penanganan pandemi dan selalu mengikuti protokol kesehatan.

“Sekarang kasusnya sudah puluhan ribu. Harapanku, semoga masyarakat lebih aware seperti waktu pertama ada corona. Jangan dengerin orang yang nyeleneh karena mereka tidak akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa pada kesehatan kalian,” tandasnya. (*)

Penulis: Nabila Amelia

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).