Ingin menjadi Influencer? Pahami Konsep dan Strateginya!

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWSInfluencer kini menjadi salah satu bidang karir yang begitu digandrungi kaum milenial. Influencer sendiri secara bahasa dapat diartikan sebagai individu yang mampu mempengaruhi pemikiran dan keputusan seseorang. Sementara itu dalam era kontemporer, influencer dipahami sebagai sosok yang memiliki banyak pengikut dan memiliki pengaruh besar bagi pengikutnya di media sosial.

Hal tersebut yang kemudian menimbulkan ketertarikan kaum milenial untuk menjadi influencer karena pekerjaannya yang terlihat ‘mudah’. Menurut dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR) Nisa Kurnia Illahiati, S.Sos., M.Med.Kom, sebelum terjun dalam dunia influencer masyarakat harus memahami bahwa bidang industri seni tersebut sejatinya begitu kompleks dengan pengaruh dan konsekuensi yang begitu besar.

“Konsep utama dari fenomena influencer itu kan present and spreads their values. Mereka membawa konten, identitas, taste, fashion, maupun gaya hidup tertentu yang mereka yakini akan diikuti oleh pengikutnya.” ungkap Nisa.

Bagi pengikutnya, seorang influencer dipandang sebagai ideal person yang kemudian menghasilkan ideal standard. Lalu untuk menjadi seorang influencer, hal apa saja yang perlu diperhatikan? Apakah semua orang bisa menjadi influencer?

Temukan Identitas dan Keunikanmu

“Teknik persuasi dalam aktivitas influencer secara tidak langsung bermain dengan aspek psikologis dan sosial. Anak-anak muda yang masih dalam tahap berkembang dan mencari jati diri akan selalu mencari role model dalam hidupnya.” ujar Nisa.

Menurut Nisa, hal tersebut yang kemudian membuat pamor influencer semakin meningkat karena mereka menjajakan seperangkat tren dan identitas sosial yang berpotensi untuk diimitasi dan diidentifikasi oleh kaum milenial.

Oleh karena itu seorang influencer harus memiliki konsep karya dan identitas diri. Beberapa konsep yang biasa diangkat oleh influencer adalah konten podcast, gaya hidup, kuliner, masak, musik, make-up, bahkan hingga prank.

Maka saat telah menemukan konten dan identitas diri, seorang influencer hendaknya juga menemukan keunikan dalam konten dan identitasnya yang membuat masyarakat tertarik untuk mengikutinya.

“Salah satu contohnya adalah identitasdan konten from zero to hero seperti yang dibawa Atta Halilintar atau Keanuagl. Tapi apakah semua orang bisa mengikutinya? Belum tentu. Makanya temukan sendiri keunikanmu yang berpotensi untuk disukai khalayak ramai,” katanya.

Niche Market

Segmentasi konsumen media sosial dari hari ke hari semakin banyak dan terus berkembang. Beberapa segmentasi tersebut bahkan tidak hanya terbatas pada aspek-aspek demografi, tapi dapat pula berbentuk segmentasi selera musik, tren, gaya hidup, dan berbagai hal lain. Oleh karenanya, seorang influencer harus menemukan target konsumen bagi konten yang mereka hasilkan.

“Contohnya sekarang para pengagum indie dan coffee shop semakin banyak. Itu karena baik influencer maupun pelaku usaha berhasil menemukan niche market utama mereka yang merupakan kaum milenial pecinta musik indie, istilah kerennya para penikmat senja kan?” sebutnya.

Pantang Menyerah dan Tahan Banting

Menjadi seorang influencer tidak dapat dilakukan hanya dengan bermimpi, akan tetapi turut diperlukan eksekusi dan pantang menyerah.

Influencer di Indonesia banyak yang telah mengalami trial error berkali-kali. Ambil contoh Deddy Corbuzier. Sebelum berhasil di konten podcast, dia dulunya membuat konten motivasi yang ternyata tidak se-booming sekarang. Begitu pula dengan Reza Arap yang dulu bermusik dengan toxic words hingga kini mampu bertransformasi sebagai pencipta lagu sukses.” ujar Nisa.

Selain pantang menyerah, Nisa juga mengingatkan agar para influencer menjadi pribadi yang tahan banting. Karena saat mereka terjun dalam bidang tersebut, mereka seringkali harus mengekspos gaya hidup, habit, dan hal-hal personal lainnya. Posisi mereka sebagai figur publik dan idola, membuat para pengikutnya seringkali merasa terlalu terikat dan berhak ikut campur dalam kehidupan personal para influencer.

Dari berbagar poin di atas, Nisa juga mengingatkan agar influencer dapat bersikap adaptif dan fleksibel baik terhadap perubahan maupun netizen. Influencer seringkali tidak dapat mengikuti idealisme dan akan sangat sulit menentukan keinginan masyarakat. Namun yang harus diingat, influencer juga harus terus berpegang pada kredibilitas, etika moral, dan kemanusiaan dalam berkarya.

“Jika salah, katakan salah dan minta maaf. Jika ingin mendapat yang terbaik, berkaryalah dengan karya yang baik pula. Jika ingin diperlakukan dengan hormat, buatlah konten yang sesuai dengan nilai tersebut. Kalian mungkin tidak sadar, tapi pengaruh kalian begitu besar bagi pengguna media sosial.” tutupnya. (*)

Penulis: Intang Arifia

Editor: Feri Fenoria

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).