Pakar Hukum UNAIR Menegaskan Bahwa Kebebasan Beragama Masyarakat Sunda Wiwitan Tidak Boleh Dibatasi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan tradisional yang dianut oleh masyarakat adat Sunda, yaitu masyarakat Adat Karuhun Urung (AKUR). Selama bertahun-tahun, masyarakat AKUR telah mengalami berbagai bentuk diskriminasi yang didasari atas kepercayaan yang mereka anut. Mulai dari tidak bisanya mengisi kolom agama di KTP dengan agama mereka hingga disegelnya pembangunan makam adat di tanah adat mereka karena tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Dalam acara Webinar Hari Masyarakat Adat Sedunia yang diadakan oleh BEM FH UNAIR, Pakar Hukum UNAIR Joeni Arianto Kurniawan, S.H., M.A., selaku narasumber mengatakan bahwa konflik masyarakat AKUR ini meliputi dua isu sekaligus. Isu kebebasan beragama dan isu masyarakat adat.

“Terkait isu kebebasan beragama ini merupakan hak individu, dimana semua orang berhak atas hak ini tidak peduli latar belakang dan identitasnya. Sementara hak masyarakat adat itu merupakan hak kolektif yang diberikan kepada suatu komunitas/kelompok orang tertentu karena adanya latar belakang tertentu,” ujar Joeni, sapaan akrabnya.

Pakar dasar ilmu hukum itu menjelaskan bahwa alasan mengapa masyarakat adat perlu diberikan suatu bentuk hak kolektif khusus adalah liberalisme. Salah satu nilai dari paham liberalisme adalah bahwa setiap manusia terlahir merdeka. Oleh karena itu, Joeni menyimpulkan bahwa kemerdekaan setiap manusia itu ditandai salah satunya dengan dimilikinya hak untuk menentukan nasibnya sendiri (rights of self-determination).

Dosen yang sekarang sedang mengenyam pendidikan Ph.D., di Pisa, Italia itu memaparkan bahwa kebebasan ekspresi agama adalah suatu hak yang dapat dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Tertuang dalam Pasal 18 ayat (3) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Ia menunjukkan bahwa alasan pembatasan itu hanya menyangkut keamanan publik, tata tertib, kesehatan, moral, hak dasar, dan kebebasan individu lain. Untuk itu Joeni menarik benang merah bahwa penyegelan pembangunan makam adat di tanah adat itu tidak boleh dibatasi karena tidak memenuhi alasan-alasan tersebut.

“Disini yang menjadi masalah adalah pada konstitusi kita sendiri. Dalam Pasal 28 ayat (2), normanya kurang lebih sama dengan ICCPR. Namun, disitu kita ketambahan bahwa nilai-nilai agama dapat digunakan menjadi instrument pembatasan ekspresi hak, menyimpangi kelaziman HAM internasional. Sejatinya pembatasan ekspresi hak adalah norma yang dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat, dan agama bukanlah salah satunya,” tegas Joeni.

Terakhir, Joeni berpendapat dari konstitusi yang disusun seperti itu adalah apabila ada ekspresi keagamaan yang disinyalir bertentangan dengan agama yang diakui oleh Indonesia itu sah-sah saja untuk direstriksi. Ia menambahkan bahwa hal ini lah yang terjadi dan menimpa kepada masyarakat adat/kelompok agama minoritas lainnya, yang berakibat pada terhambatnya pemenuhan hak mereka.

Acara Webinar Hari Masyarakat Adat itu mengusung tema “RUU Masyarakat Adat: Dapatkah Masyarakat Sunda Wiwitan Berlindung di Bawah Payungnya?” dan diselenggarakan via Google Meet pada Jumat sore (14/8/2020). Webinar ini juga mengundang perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai narasumber.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).