UNAIR NEWS – Tren mengonsumsi makanan organik saat ini semakin meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan lingkungan. Meski lebih mahal, ‘organik’ seakan menjadi label bahwa makanan itu sehat dan aman dikonsumsi. Lantas, dari aspek apa pangan organik dipandang lebih baik daripada anorganik?
Pakar Kesehatan Masyarakat UNAIR Dr. Annis Catur Adi, Ir., M.Si., mengungkapkan bahwa secara umum, dari aspek gizi makro, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pangan organik dan non-organik. Namun, untuk zat-zat tertentu, seperti zat gizi mikro, pangan organik memiliki kandungan zat gizi lebih tinggi.
Ketua Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) itu menerangkan, sayuran organik memiliki kandungan vitamin mineral lebih tinggi jika dibandingkan dengan anorganik. Di antaranya, seperti vitamin C 27 persen, zat besi 29 persen, dan fosfor 14 persen.
“Sejumlah penelitian juga menunjukan, beberapa jenis sayuran organik memiliki kandungan mineral yang lebih tinggi daripada sayuran konvensional,” paparnya dalam wawancara daring pada Selasa (11/8/2020).
Mengacu pada Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.06.52.0100 Tentang Pengawasan Pangan Olahan Organik, pangan organik diartikan sebagai pangan yang dihasilkan dari suatu sistem pertanian dengan menerapkan prinsip-prinsip keseimbangan ekosistem secara terpadu. Lebih lanjut, sistem pertanian organik berkembang karena kesadaran akan lingkungan, keamanan pangan, dan kesehatan.
Setidaknya terdapat beberapa hal yang menjadikan organik banyak digemari. Pertama, kata Annis, proses organik lebih meminimalisasi penggunaan bahan kimia, termasuk pestisida. Sehingga organik dapat dikatakan lebih alami dan memiliki kandungan residu pestisida jauh lebih rendah. Bahkan dibawah batas aman.
Secara langsung maupun tidak langsung, residu pestisida yang tinggi dalam bahan pangan dapat berpengaruh terhadap kesehatan. Daya racun pestisida sangat beragam dan seringkali tidak disadari, zat-zat tersebut akan tertimbun di dalam tubuh.
Namun sebenarnya, bebas dari pestisida juga bukan berarti aman. “Keamanan pangan, bukan hanya terbebas dari bahaya kimia, tapi juga bahaya mikrobiologi dan fisik. Karena itu, tetap perlu memperhatikan kemungkinan adanya cemaran lain, seperti jamur, organisme, dan mikroba,” imbuhnya.
Selain itu, lanjutnya, pangan organik lebih ramah lingkungan. Sebab, dihasilkan secara alami dari sistem pertanian organik dengan lebih memperhatikan keseimbangan ekosistem alam.
Annis menuturkan, syarat bagi suatu produk untuk mendapatkan label organik memang cukup ketat. “Banyak produk yang tidak menggunakan pupuk kimia saja sudah diklaim produk organik. Mungkin tepatnya adalah produk hasil pertanian sehat ya. Karena itu, belum memenuhi syarat organik,” ucapnya.
Meski demikian, Annis menegaskan bahwa label organik tidak cukup menjadi jaminan bahwa makanan tersebut 100 persen aman. Dia menambahkan, jika pangan tidak diperlakukan dengan baik (bersih, red), sangat memungkinkan ditumbuhi jamur. “Semua pangan beresiko, hanya saja resiko bisa diperkecil,” ujar dia.
Pada akhir, Annis berpesan masyarakat bijak dan cerdas dalam memilih makanan. Selama makanan tersebut aman dan memiliki kandungan gizi yang sesuai, organik maupun non-organik bisa saja dipilih untuk memenuhi kebuhan gizi sehari-hari.(*)
Penulis: Erika Eight Novanty
Editor: Feri Fenoria