Ironis sekali, kini kasus tindak asusila kekerasan seksual yang masuk didalamnya pelecehan seksual samakin gencar disuarakan. Di Indonesia, berbagai awak media, sosial media, dan lembaga pengaduan ramai oleh pelaporan tindakan keji tersebut. Cukup memprihatinkan, kini tidak hanya perempuan namun laki-laki bisa merasakan dampak dari pelecehan seksual.
Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan diperoleh data, tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752 kasus bersumber dari data kasus / perkara yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang melibatkan lembaga mitra pengadal layanan yang tersebar di provinsi di Indonesia dan 1419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), unit yang yang sengaja diangkat oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung juga dipanggil ke Komnas Perempuan. Dari 1419 pengaduan tersebut, 1.277 merupakan kasus berbasis gender dan tidak berdasarkan jenis kelamin 142 kasus. Data pertahanan yang meningkat pesat selama lima tahun terakhir.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat bahwa adanya peningkatan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Peningkatan kasus kekerasan seksual tersebut mencapai 100 lebih dalam setahun. Kekerasan seksual di 2018 ada 401 kasus. bertambah sekitar 100an kasus pada 2019 menjadi 507 kasus.
Mengutip salah satu pernyataan pengurus LPSK di medcom.id, ia menyebutkan bahwa jumlah terlindung akibat kasus kekerasan seksual berdasarkan jenis kelamin sebanyak 134 laki-laki, terdiri atas 77 orang dewasa dan 57 anak-anak. Kemudian, terdapat 373 perempuan, terdiri atas 199 orang dewasa dan 174 anak-anak.
Pelecehan seksual merupakan satu diantara 15 macam dari kekerasan seksual yang dapat dialami oleh siapa saja. Bahkan, pelecehan seksual juga tidak jarang terjadi pada anak-anak usia dini. Semua tempat juga dapat beresiko terjadinya tindakan keji tersebut.
Salah satu akun twitter pernah mengunggah bahwa ia pernah dilecehkan oleh saudaranya sendiri, di jalan seorang remaja pernah melihat seseorang memamerkan alat kelaminnya, sebuah media pernah memberitakan seorang santri mendapat pelecehan ketika di pesantren, media kampus juga tampak sering mengunggah cerita mahasiswanya yang dilecehkan oleh temannya sendiri, dan masih banyak lagi. Bahkan akhir-akhir ini, sedang ramai diperbincangkan sebuah pelecehan seksual dengan kedok penelitian. Hal ini membuktikan, bahwa masyarakat Indonesia sedang krisis moral dan paham terkait pelecehan seksual.
Tidak melulu kejadian pelecehan seksual terjadi di tempat umum saja, namun lingkungan akademisi pun sekarang sudah menjadi sasaran empuk para penjahat seksual tersebut. Sosial media, juga telah beralih menjadi senjata para penjahat seks itu. Mereka dengan mudahnya meneror korban, seakan tidak berfikir dengan dampak yang akan mereka berikan.
Melihat dari beberapa kasus, para korban terkadang kalah oleh rasa takut pada diri mereka. Sehingga memilih diam tanpa melakukan perlawanan. Didasari oleh rasa takut, sehingga berujung bingung dengan apa perlakuan yang seharusnya mereka kerjakan. Sering kali korban memilih diam dan tidak berani bersuara. Karena, banyak orang terdekat yang malah menyalahkan dia tanpa memberikan dukungan yang positif. Lalu, apa yang seharusnya dilakukan?
Bentuk Moral Anti Pelecehan Seksual Sejak Dini
Memberikan seks edukasi sedari dini pada anak menjadi hal yang penting dilakukan oleh para orang tua. Perlu ditekankan, bahwa pendidikan seks itu penting sepanjang usia. Karena setiap perkembangan usia seseorang memiliki tahapannya masing-masing, dari anak-anak, remaja, dan dewasa.
Pendidikan seks bukan sesuatu yang menyeramkan, apalagi tabu. Sehingga, saat anak masih balita perlu untuk diajarkan mengenai hal tersebut. Sebagai contoh sederhana, karena anak belum memahami abstrak maka bisa diajarkan menggunakan alat peraga seperti boneka. Dalam hal ini, anak hanya cukup mengetahui nama, fungsi, dan higienitasnya. Kemudian, tidak menyebutkan alat kelamin dengan kata ganti, misalnya seperti penis menjadi pisang. Dalam edukasi seks pada anak, peran orang tua disini sangatlah penting. Penting dalam orang tua memberikan batasan. Selain itu, anak juga memerlukan pengawasan yang sangat intens dalam pendidikan dan aktivitas sosialnya.
Korban Harus Berani
Hasil survei Komnas Perempuan pada tahun 2019 menyatakan, bahwa hampir 90 persen kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan tidak terlaporkan. Alasan utama mengapa banyak sekali kasus kejahatan seksual yang tidak terlaporkan adalah kebiasaan victim blaming masih sangat marak terhadap korban, hal itu dapat membuat mereka takut dan juga tertekan.
Para korban seharusnya mau dan bisa menyuarakan karena hal tersebut merupakan masalah serius yang harus dibasmi. Dengan mereka menyuarakan, maka mereka dapat membantu masyarakat lain untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kasus terkait. Kesadaran publik akan lebih meningkat dengan mereka bersuara.
Kemudian, masyarakat yang hendak mengalami kasus terkait harus berani melawan. Melawan dalam artian mereka tau jika itu salah. Dengan mereka melawan, maka para penjahat seksual akan berpikir dua kali ketika akan melakukan aksinya. Kita harus membuktikan bahwa masyarakat Indonesia tidak lemah dan bisa menekan angka kasus pelecehan seksual.
Beri Dukungan Positif Pada Korban
Dukungan positif sangat diperlukan terutama dari keluarga terdekat. Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of American Medical Association (JAMA), pada Oktober 2018 sekitar 60 persen orang yang mengalami kekerasan seksual memiliki masalah tidur, dan 95 persen menunjukkan gejala depresi dan kecemasan klinis. Hal itu sangat berbahaya, karena jika kesehatan mental seseorang terganggu maka produktivitas mereka juga akan menurun.
Selain keluarga, membentuk lembaga khusus mengenai kasus pelecehan seksual di berbagai sektor sangat diperlukan, seperti misalnya di lingkungan kampus atau akademisi. Kemudian, dalam lembaga tersebut harus dapat membangun jaringan aduan yang mudah untuk diakses dan merespon aduan yang dilaporkan.
Setiap orang tidak boleh menganggap remeh kasus pelecehan seksual, karena hal tersebut dapat memberikan dampak berkepanjangan bagi para korban. Memberikan sanksi tegas bagi pelaku kejahatan juga perlu ditekan, baik sanksi secara hukum maupun sosial. Serta tidak lupa, baik lembaga maupun orang terdekat harus senantiasa memberikan trauma healing bagi para korban. Hal itu berguna sebagai langkah pencegahan supaya gangguan mental seperti PTSD (post-traumatic stress disorder) tidak menjangkit pada si korban.
Penulis: Ulfah Mu’amarotul Hikmah