Prediktor Pengetahuan Tentang Tanda Bahaya Kehamilan di Wilayah Pedesaan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Alodokter.com

Berbagai upaya untuk menurunkan angka kematian ibu telah dilakukan di berbagai negara, tetapi sampai saat ini angka kematian ibu masih menjadi isu global. Meski mulai dirasakan adanya penurunan jumlah kematian, tetapi kemajuannya terlalu lambat untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDG’s) tahun 2030. Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara penyumbang kematian yang cukup besar, yaitu 126,0 dan menduduki peringkat ke 4 penyumbang kematian ibu di antara negara-negara ASEAN, di bawah Laos, Myanmar, dan Kamboja. Negara tetangga terdekat seperti Malaysia dan Singapura memiliki angka kematian ibu jauh lebih rendah, yaitu 23,8 dan 7,1.

Indonesia adalah negara dengan banyak suku bangsa. Banyaknya suku bangsa juga membuat banyak pengetahuan lokal yang berkembang, termasuk pengetahuan lokal tentang kehamilan dan persalinan. Pada suku Gayo di Gayo Lues misalnya, perempuan merasa harus merahasiakan kehamilan karena takut dimakan roh jahat. Perempuan suku Muyu di Boven Digoel harus diasingkan, karena hawa buruk dari darah persalinan bisa membuat seluruh anggota keluarga di rumah sakit. Perempuan suku Ngalum di Pegunungan Bintang harus keluar dari rumah dan tinggal di gubug terasing, karena masyarakat menganggap darah persalinan membawa hawa jahat. Pengetahuan lokal tentang kehamilan dan persalinan ini seringkali ditemukan bertentangan dengan pengetahuan medis modern, dan sering membahayakan kondisi ibu.

Dengan memanfaatkan data sekunder dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2017, artikel ini ditujukan untuk menganalisis pendidikan sebagai prediktor pengetahuan tentang tanda bahaya kehamilan di wilayah pedesaan Indonesia. Unit analisis yang digunakan adalah wanita usia subur (WUS) berumur 15-49 tahun di wilayah pedesaan Indonesia, sehingga didapatkan sampel sejumlah 44.647 responden. Pada atahap akhir digunakan regresi logistik biner untuk penentuan prediktor.

Hasil analisis menginformasikan bahwa WUS dengan pendidikan primer memiliki kemungkinan 1,973 kali untuk mengetahui tanda-tanda bahaya kehamilan daripada WUS yang tidak berpendidikan. WUS dengan pendidikan sekunder memiliki kemungkinan 3,355 kali untuk mengetahui tanda-tanda bahaya kehamilan daripada wanita tanpa pendidikan. Wanita dengan pendidikan tinggi adalah 7,169 kali untuk mengetahui tanda-tanda bahaya kehamilan WUS yang tidak berpendidikan. Semakin tinggi pendidikan, semakin tahu tanda-tanda bahaya kehamilan.

Selain pendidikan, 4 karakteristik lain dari WUS juga ditemukan sebagai prediktor pengetahuan tentang tanda bahaya kehamilan di wilayah pedesaan Indonesia. Keempat karakteristik tersebut adalah usia, status bekerja, status sosioekonomi, dan paritas, juga ditemukan sebagai prediktor pengetahuan tentang tanda-tanda bahaya kehamilan. WUS yang memiliki pekerjaan memiliki kemungkinan 0,958 kali untuk mengetahui tanda-tanda bahaya kehamilan daripada WUS yang tidak bekerja. Sementara seluruh status sosioekonomi memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang tanda-tanda bahaya kehamilan dibanding WUS yang paling miskin. Di sisi lain ditemukan bahwa WUS yang memiliki banyak anak (multipara dan grand multipara) justru memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mengetahui tanda-tanda bahaya kehamilan dibandingkan wanita primipara (memiliki satu anak atau kurang).

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan prediktor pengetahuan tentang tanda-tanda bahaya kehamilan di wilayah pedesaan Indonesia. Selain itu, ada 4 variabel lain yang juga merupakan prediktor, yaitu usia, pekerjaan, kekayaan, dan paritas.

Penulis: Ratna Dwi Wulandari
Artikel lengkap dapat ditemukan pada tautan berikut: https://www.ijicc.net/images/vol_13/13163_Wulandari_2020_E_R.pdf

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).