Hajatan Remo pada Komunitas Blater: Komunikasi Ritual Tradisional dalam Transformasi Budaya di Madura

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Hajatan Remo di Bangkalan, Maret 2020. (Dok. Pribadi)

Remo adalah pesta untuk blater di Madura yang juga berfungsi sebagai acara semacam arisan. Seorang tamu harus memberikan uang (bhubuwan) kepada tuan rumah, dan sebaliknya, ketika sang tamu menjadi tuan rumah, ia akan menerima uang dari mantan tuan rumah tersebut dan juga uang dari tamu–tamu lainnya. Dalam hal ini remo mungkin saja memberikan keuntungan finansial bagi tuan rumah. Namun, bukan berarti ia akan menjadi kaya dari remo. Pada prinsipnya, ketika ia menjadi tamu, ia harus memberikan uang yang lebih banyak kepada tuan rumah (yang sebelumnya adalah seorang tamu pada remo sebelumnya) daripada yang ia terima darinya sebelumnya (ngompang) (Pribadi, 2015).

Tradisi remo ini, semua yang diundang  adalah laki-laki, maka dari itu hal ini menjadi daya tarik peneliti untuk meneliti lebih jauh lagi untuk mengkaji kekuatan makna apa dibalik tradisi remo tersebut, karena pulau Madura yang terkenal dengan mayoritas Muslim masih ada tradisi  yang masih mempraktekkan tradisi yang saling menunjukkan kekayaan serta kehormatan diri dari komunitas blater .Hal ini juga ditunjukkan dalam penelitian Carok dan Menabur Kharisma Menuai Kuasa (Rozaki & Abdur, 2004; Wiyata & Latif, 2002).

Tradisi remo bagi masyarakat Madura sudah ada sejak beberapa waktu, secara turun temurun sampai saat ini. Tradisi remo sering diadakan oleh kalangan klas tertentu khususnya kalangan blater pada Masyarakat Madura. Budaya remo mencerminkan diri masyararakat Madura yang memiliki tingkat solidaritas tersendiri. Tradisi remo ini biasanya dilakukan oleh kepala desa yang terpilih atau tokoh masyarakat yang memiliki kekuasaaan contohnya blater sebutan bagi orang Madura (bajingan) sebutan di daerah Pamekasan dan Sumenep.

Tradisi remo ini dilakukan melalui sebuah perkumpulan antar para jagoan di seluruh Madura sebagai bentuk eksistensi sebagai seorang blater. Selain itu juga dijadikan sebagai bentuk silaturahmi dan sebagai sarana musyawarah bagi masyarakat atau kelompok yang memiliki perselisihan. Remo memiliki nama lain di daerah lain. Contohnya di daerah Madura seperti Pamekasan dan Sumenep remo menjadi nama Sandur Madura, sedangkan di daerah Bangkalan dan Sampang memiliki nama tetap yaitu remo Madura. Meskipun berbeda nama namun ciri dan pementasannya tetap sama. Remo sebagai tradisi dalam dunia keblateran.

Tradisi remo tersebut diharapkan dapat memupuk rasa persaudaraan diantara para  jago  blater     sebagai  seorang  saudara  yang  sama-sama  memiliki  latar belakang  yang sama serta nenek moyang  yang sama, serta dengan tujuan yang sama pula. Oleh karena itu, dengan remo inilah para jago blater beranggapan dapat lebih mempererat tali silaturrahmi serta persaudaraan baik dalam kelompoknya sendiri ataupun dengan kelompok lain.

Berbagai interaksi yang dilakukan dalam remo tersebut menjadi sangat berarti sebagai tolak ukur kedekatan  antara blater  yang satu dengan  yang lain, dalam satu kelompok ataupun dengan kelompok yang lain. Patut dicermati bagaimana interaksi serta komunikasi yang dilakukan para blater, di dalam ataupun di luar remo tersebut,  remo sebagai alat untuk eksistensi seorang  jago blater seakan tidak akan pernah terlepas dan sudah menjadi elemen terpenting dalam dunia keblateran.

Dalam hajatan remo, terdapat sebuah pertunjukan sandur, dimana pertunjukan ini adalah bagian dari pelaksananan remo yang ada di Madura. Sandur ini adalah sebuah group gamelan tradisional Madura yang didalamnya terdapat pemain gamelan, saronen, dan kejhungan (nyanyian ala Madura) serta penari yng disebut Lengge’. Sandur ini disajikan secara live, bukan memakai kaset. Dan uniknya Lengge’, ini dimainkan oleh para penari laki-laki yang berpakaian kebaya wanita.

Dalam masyarakat Madura terdapat komunitas blater yang masih bertahan dengan segala profesi dan kegiatannya. Dalam tradisinya, komunitas Blater ini, secara rutin mengadakan hajatan remo untuk tujuan tertentu. Hal inilah yang menggugah peneliti untuk mengkaji lebih jauh dikarenakan dengan era modern dan kontemporer ini ritual tradisi remo ini masih ada pada masyarakat  Madura. Di bawah ini dokumentasi observasi yang dilakukan peneliti pada hajatan remo salah satu informan di Bangkalan Madura.

Tujuan Penelitian ini adalah, untuk mengkaji makna ritual komunikasi tradisi  remo komunitas Blater dalam mempertahankan budaya pada Masyarakat Madura. Peneliti ingin mengetahui apakah ada pengaruh transformasi sosial budaya modern dalam tradisi remo pada masyarakat Madura sehingga tradisi hajatan remo masih bertahan di masyarakat kontemporer.

Sumbangan penelitian ini banyak kajian mengenai tradisi ritual budaya di beberapa negara termasuk di Indonesia. Namun sedikit yang mengkaji tradisi ritual hajatan remo sebagai komunikasi ritual tradisional di Madura. Padahal remo yang dilakukan Blater di Madura barat khususnya di Bangkalan sudah ada sejak jaman Belanda. Oleh karena itu artikel ini akan menambah kajian tentang komunikasi ritual tradisioanal budaya local Madura di era transformasi budaya pada masyarakat yang sudah dipengaruhi informasi dan teknologi.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bangkalan, Kecamatan Socah, Kecamatan Arosbaya, Kecamatan Labang, Kecamatan sepulu dan Kecamatan Tanjung Bumi. Kabupaten Bangkalan Madura, selama kurang lebih 10 bulan lamanya. Alasan pemilihan lokasi, karena di Desa ini masih banyak komunitas blater yang masih eksis keberadaannya dalam melakukan tradisi remo hingga sekarang ini.

Adapun informan dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh blater dan kepala desa (klebun) serta penari lengge, dan juga tokoh masyarakat yang bisa memberikan informasi terhadap kebutuhan penelitian ini.Penelitian ini menggunakan metode observasi dengan wawancra mendalam, dengan key informan 5 orang sebagai pelaku remo yaitu bapak A sebagai tukang panggil, bapak D yang berprofesi usaha sumur bor, bapak S berprofesi sebagai penjaga gudang di Petean Surabaya, bapak T penari sandur dan juga pelaku remo serta klebun Arosbaya (kepala desa)

Remo Merupakan Media Ritual

Pada kehidupan sosial bermasyarakat  banyak kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing individu, seperti; upacara, hajatan, arisan, perkawinan dan lain-lain. Begitupun dengan ritual yang ada pada masyarakat Indonesia. Banyak kegiatan ritual yang berhubungan dengan hal keagamaan, tetapi apa yang akan ditelitii oleh penulis adalah ritual komunikasi yang merupakan tindakan komunikasi pada komunitas blater di Madura khususnya di kabupaten Bangkalan dan kabupaten Sampang.

Remo sebagai Ritual Communication

Komunikasi ritual sebagai modus khusus dari perilaku semiotik ini tentu saja artefak sarat nilai sosio-historis, hasil dari sejarah panjang penyelidikan, antropologi dan sebaliknya, ke dalam sifat perilaku manusia, dimulai dengan kerangka kerja yang kontras mode Eropa perilaku dan penggunaan bahasa dengan mereka ditemukan di antara orang yang baru dijajah di seluruh dunia. Meskipun tidak selalu dikenal karena itu, komunikasi ritual telah menjadi subjek berdiri panjang dalam antropologi.

Transformasi Budaya

Transformasi Budaya pada masyarakat Madura sudah Nampak pasca pembangunana jembatan Suramadu tahun 2008 yang lalu. Perubahan sosial budaya sangat dirasakan oleh masyarakat disekitar wilayah Suramadu baik sosial, ekonomi, budaya, dan yang paling signifikan adalah perubahan budaya konsumtif kuliner di Bangkalan, dan arus informasi serta teknologi. Namun perubahan budaya teknologi ini tidak berpengaruh pada tradisi remo yang dilakukan oleh komunitas blater di Bangkalan Madura. Komunitas ini masih eksis mengadakan hajatan remo sepanjang tahun kecuali bulan Ramadhan dan Maulid nabi karena dilarang oleh kyai-kiai di Madura. Artinya sarana remo masih sangat mempunyai nilai budaya dan manfaat yang tidak bisa diganti oleh kemajuan jaman dan remo masih menjadi alat komunikasi tradisonal bagi komunitas blater untuk menunjukkan keberadaannya dan status dirinya dimata kelompok dan masyarakat.

Begitupun dengan tradisi hajatan remo yang diadakan di Bangkalan, meskipun ditengah arus teknologi, informasi, dan lain-lain. Tetapi nyatanya sampai saat ini, hajatan remo ini masih eksis diadakan pada kalangan masyarakat blater di Madura.

Dari hasil pengamatan dan data yang diperoleh penulis dapat disimpulkan bahwa remo di Madura khususnya di Kabupaten Bangkalan masih tetap berlangsung meskipun ada pengaruh budaya global dan informasi teknologi yang begitu pesat. Remo sebagai tradisi hajatan pada masyarakat Bangkalan Madura merupakan Komunikasi Ritual tatap muka (face to face) yang mempunyai makna kuasa simbolik dan simbol kekuasaaan bagi komunitas blater di Bangkalan.

Dengan tradisi remo tersebut mereka dapat memupuk rasa persaudaraan di antara para  blater. Mereka menganggapsatu sama lain sebagai saudara  yang  sama-sama  memiliki  latar belakang  yang sama serta nenek moyang  yang sama, serta dengan tujuan yang sama pula. Oleh karena itu, dengan tradisi remo inilah para blater dapat lebih mempererat tali silaturrahmi serta persaudaraan baik dalam kelompoknya sendiri ataupun dengan kelompok lain. Tradisi remo sebagai media komunikasi ritual tradisional masih tetap bisa eksis dalam membangun komunikasi untuk mempererat komunitas blater di Madura.

Penulis: Dinara Maya Julijanti, Yayan Sakti S., Myrtati Dyah Artaria

Artikel lengkapnya dapat dilihat pada link jurnal berikut ini:

https://ejournal.unitomo.ac.id/index.php/jsk/article/view/2445

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).