Visualisasi Interaksi Antigen-antibodi Bakteri Aeromonas hydrophilla pada Organ Limpa, Hepar, dan Ginjal Hewan Coba Kelinci dengan Pewarnaan Imunohistokimia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Bakteri Aeromonas hydrophilla. (Sumber: myedisi.com)

Sumber daya perikanan yang dimiliki oleh Indonesia sangat beragam dan memiliki banyak potensi, diantaranya budidaya laut dan tambak atau payau yang mengarah untuk kemajuan perekonomian Indonesia (Juanti dkk., 2014). Salah satu sumber pertumbuhan ekonomi andalan adalah budidaya ikan yang diwujudkan melalui sistem budidaya yang berdaya saing (Sukadi, 2002).

Kegiatan budidaya ikan merupakan usaha manusia untuk mengelola faktor- faktor budidaya, hama, dan penyakit organisme (Reksono, 2012). Menurut Wiyanto (2010), indikator keberhasilan dalam usaha budidaya ikan salah satunya adalah kesehatan ikan yang terkait dengan pemeliharaan lingkungan dan daya tahan terhadap serangan bakteri patogen. Salah satu bakteri yang umum dijumpai pada ekosistem perairan dan mempunyai peranan sebagai mikrobial flora bagi organisme air pada kondisi lingkungan yang stabil yaitu bakteri Aeromonas hydrophila.

Bakteri Aeromonas hydrophila merupakan salah satu bakteri penyebab penyakit yang berbahaya pada budidaya ikan air tawar. Bakteri tersebut banyak menyerang ikan mas yang merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar dan dapat menginfeksi ikan pada semua ukuran yang dapat menyebabkan kematian hingga mencapai 80 %, sehingga mengakibatkan kerugian yang sangat besar dalam usaha budidaya ikan air tawar (Sanoesi, 2008).

Aeromonas hydrophila melimpah pada lingkungan air tawar terutama dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Infeksi  bakteri ini bersifat oppoturnistik, yaitu infeksi yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada hewan dengan sistem kekebalan tubuh yang normal, tetapi dapat menyerang hewan dengan sistem kekebalan tubuh yang buruk. Infeksi Aeromonas hydrophila dapat dikenali karena adanya luka-luka eksternal (ulcer), lendir mengering, terdapat bercak perdarahan pada daerah latero-ventral tubuh dan sirip serta sisik terkelupas ( Wijayaning dkk., 2008).

Aeromonas hydrophila memiliki Outer Membrane Protein (OMP)yang merupakan protein pada bagian dinding sel bakteri gram negatif yang berhubungan dengan sifat virulensi dan bersifat imunogenik. Outer Membrane Protein (OMP) bakteri memainkan peran penting dalam virulensi karena OMP merupakan lapisan permukaan terluar dari sel yang juga terlibat pada  induksi faktor kekebalan dalam pertahanan. OMP terletak pada lapisan paling luar bakteri yang penting untuk respon kekebalan bagi host dan sebagai target untuk obat terapi. Baru-baru ini, banyak perhatian mengenai OMP sebagai sebuah potensial yang sangat penting dalam komponen vaksin (Thangviji et al., 2012).

Penelitian tentang Outer Membrane Protein (OMP) telah banyak diteliti dalam usaha mendapatkan antigen yang dapat diandalkan baik untuk diagnosis maupun untuk vaksin. Di dalam penelitian ini penulis ingin melakukan penelitian mengenai reaktivitas Outer Membrane Protein (OMP) Aeromonas hydrophila pada kelinci New Zealand dengan teknik Imunohistokimia untuk mengetahui adanya interaksi antibodi dengan antigen pada ginjal kelinci New Zealand secara mikroskopis. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas teknik imunohistokimia dalam mendeteksi adanya Aeromonas hydrophila pada preparat histopatologi.

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah yaitu : Bagaimana interaksi antibodi dengan antigen pada jaringan histopatologi ginjal kelinci New Zealand dengan menggunakan teknik Imunohistokimia?

Imunisasi pada kelinci dilakukan menggunakan protein spesifik yang telah berhasil di isolasi melalui tahap sebelumnya   dan disuntikkan secara sub cutan ke kelinci galur New Zealand yang berjenis kelamin jantan  dan berumur 5 bulan.  Sebagai kontrol (tanpa imunisasi).  Kelinci yang di imunisasi sebanyak 6 ekor dengan menggunakan campuran antigen dengan Freund’s complete adjuvant (perbandingan 1:1).  Imunisasi kedua dilakukan setelah 14 hari berikutnya dengan campuran antigen dalam Freund’s incomplete adjuvant (perbandingan 1:1).

Imunisasi ketiga dilakukan setelah 7 hari berikutnya dengan cara dan bahan yang sama seperti imunisasi kedua.  Imunisasi keempat dan seterusnya sampai imunisasi keenam dilakukan setelah 7 hari berikutnya menggunakan antigen yang sama dengan imunisasi kedua, disuntikkan secara subkutan.  Pada hari ke-49 setelah imunisasi pertama atau tujuh  hari setelah imunisasi terakhir, serum kelinci diambil melalui V. auricularis/V. marginalis.  Serum kelinci digunakan untuk menentukan titer antibodi dan mengetahui imunogenitas protein OMP.

Pengambilan sampel jaringan ginjal dilakukan pada hari ke 7 setelah infeksi. Kelinci di euthanasia dengan menggunakan chloroform kemudian dilakukan laparotomi untuk mengambil jaringan limpa, dengan segera jaringan limpa diletakkan pada toples/pot yang berisi larutan buffer neutral formalin (BNF) untuk kemudian dibuat preparat histopatologi limpa kelinci.

Mula-mula dilakukan clearing dan rehidrasi secara bertingkat lalu dicuci 3 kali dengan destilate water (DW) masing-masing 5 menit kemudian cairan di sekitar jaringan dikeringkan. Setelah itu bagian potongan jaringan dilingkari dengan pen lalu direndam dalam 3% H2O2 dalam DW 15 menit pada suhu kamar. Kemudian sediaan dibilas  3 kali dengan DW dan 3 kali dengan PBS masing-masing 5 menit.

Langkah selanjutnya sediaan  diinkubasikan dengan 10% normal goat serum 30 menit pada suhu kamar kemudian dibilas 3 kali  dengan PBS masing-masing 5 menit. Kemudian sediaan diinkubasikan dengan antibodi primer lalu dibilas 3 kali dengan PBS masing-masing 5 menit, setelah itu diinkubasikan dengan antibodi sekunder selama 30 menit pada suhu kamar. Pada waktu yang sama, 10ml avidin dan 10ml biotin diinkubasi dalam 1 ml PBS.

Selanjutnya, sediaan dibilas 3 kali dengan PBS masing-masing 5 menit kemudian diinkubasikan dengan campuran avidin dan biotin 30 menit pada suhu kamar lalu dibilas 3 kali dengan PBS masing-masing 5 menit dan diinkubasikan dengan larutan DAB. Langkah selanjutnya dilakukan counterstaining dengan hematoxylin selama 2 menit kemudian dehidrasi, selanjutnya sediaan ditutup dengan cover glass.

Hasil yang akan diperoleh dalam penelitian ini dalam bentuk gambar jaringan histopatologi limpa yang menunjukkan adanya ikatan antara antigen dengan antibodi dengan teknik imunohistokimia yang tervisualisai dengan warna kecoklatan.

Imunohistokimia merupakan proses untuk mendeteksi antibodi (protein, karbohidrat, dsb) pada sel dari jaringan dengan prinsip reaksi antibodi yang berikatan terhadap antigen pada jaringan. Nama imunohistokimia diambil dari nama “immune” yang menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam proses ini ialah penggunaan antibodi dan “histo” menunjukkan jaringan secara mikroskopis. Imunohistokimia seringkali digunakan untuk mengukur dan mengidentifikasi proses proliferasi sel penghasil antibodi dan apoptosis sel.  Imunohistokimia juga sering digunakan untuk penelitian dasar dalam rangka mengetahui distribusi dan lokasi biomarker ataupun protein terekspresi pada berbagai macam jaringan pada tubuh (Ramos-Vara, 2005).

Untuk memvisualisasikan hasil interaksi antara antigen dan antibody dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, dimana cara yang paling sering digunakan ialah dengan konjugasi antibodi dengan enzim seperti peroksidase. Selain itu juga bisa digunakan fluorophore seperi fluorescen atau rhodamin. Untuk mempelajari morfologi sel, sel dalam jaringan difiksasi kemudian dilokalisasi diantara sel dan divisualisasikan dengan mikroskop elektron atau mikroskop cahaya (Rantam, 2003).

Imunohistokimia merupakan gabungan antara histologi atau sitologi dan imunologi. Imunohistokimia adalah suatu metode pewarnaan substansi atau bahan aktif di dalam jaringan dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar imunologi yaitu pengikatan bahan aktif (antigen) pada sisi aktif yang spesifik oleh suatu anti bahan aktif (antibodi). Hasil reaksi antigen dan antibodi ini dapat diidentifikasi pada spesimen bila antibodi diikat oleh suatu penanda (marker) berupa fluoresin, enzim, bahan partikel, atau isotop yang dapat divisualisasikan, sehingga dapat menandai keberadaan bahan aktif tersebut dalam jaringan. Bahan aktif tersebut dapat berupa protein, karbohidrat, asam nukleat, lemak, bahan-bahan alami lainnya serta bahan-bahan sintetik (Nurhidayat 2002; Setijanto 2002).

Protein antigen Aeromonas hydrophila dapat menginduksi antibodi humoral dengan indikator adanya peningkatan produksi antibodi pada organ limpa terekspresi melalui visualisasi warna kecoklatan pada pewarnaan imunohistokimia., sehingga bisa dijadikan sumber informasi untuk pengembangan bahan diagnostik maupun vaksin sub unit berbasis molekuler untuk mengatasi problem Ulcer disease pada ikan air tawar di Timur.

Penulis: M. Gandul Atik Yuliani

Informasi detil dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di

https://rjptonline.org/HTMLPaper.aspx?Journal=Research%20Journal%20of%20Pharmacy%20and%20Technology;PID=2019-12-11-10

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).