Faktor Peningkatan Risiko Stunting dan Severe Stunting pada Batita di Pesisir Pantai Jawa Timur

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Merdeka.com

Salah satu bentuk malnutrisi yang paling umum dialami batita (bawah tiga tahun) adalah stunting. Batita didefinisikan pertumbuhannya terhambat, jika tinggi badan per usia di bawah -2 SD dilihat dari Z-score Standar Pertumbuhan Anak WHO untuk anak dengan usia dan jenis kelamin yang sama. Stunting atau pendek merupakan akibat dari nutrisi yang tidak adekuat, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang buruk dalam periode yang lama.

Prevalensi stunting di Indonesia untuk anak di bawah lima tahun secara perlahan menurun. Riset Kesehatan Dasar 2013 melaporkan bahwa 37,2% anak di bawah usia lima tahun mengalami stunting. Sementara, pada 2016 dan 2018 prevalensinya menurun menjadi 33,06% dan 30,8%. Angka tersebut masih lebih tinggi dari yang ditargetkan WHO, yaitu maksimal 20%. Salah satu dari 18 provinsi yang memiliki prevalensi tinggi batita stunting di atas rata-rata prevalensi nasional adalah Jawa Timur. Kota Surabaya termasuk dalam 260 kabupaten/kota yang telah ditetapkan sebagai lokasi prioritas untuk pencegahan stunting di Jawa Timur. Pada 2017 prevalensi pengerdilan pada anak di bawah lima tahun sedikit menurun menjadi 22,8% dari 23,2% pada 2016, di mana sebagian besar anak-anak tersebut tinggal di wilayah pesisir Kota Surabaya.

Stunting harus dicegah sedini mungkin karena memiliki dampak yang sifatnya tidak dapat diubah. Anak-anak usia 12-59 bulan memiliki kemungkinan peningkatan stunting yang signifikan dibandingkan yang berusia <12 bulan atau >59 bulan. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai program untuk mengurangi prevalensi pengerdilan pada anak di bawah usia lima tahun, dalam 1000 hari pertama kehidupan anak-anak. Namun, intervensi yang tepat, efektif, dan efisien masih diperlukan, dengan menekankan locus, seperti wilayah pantai.

Stunting dalam kehidupan awal dapat menyebabkan masalah perkembangan emosional, sosial, dan kognitif di masa dewasa. Stunting meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. Konsekuensi jangka pendek dari kondisi ini adalah defisit fungsi kognitif, perkembangan motorik yang buruk, dan hilangnya potensi pertumbuhan fisik. Sementara itu konsekuensi jangka panjangnya yaitu disproporsi dalam struktur tubuh, potensi akademik yang buruk, kesehatan reproduksi yang buruk, dan peningkatan risiko infeksi.

Penelitian terhadap 85 pasang ibu dan anak di wilayah Puskesmas Tambak Wedi Surabaya menunjukkan faktor yang memiliki korelasi signifikan terhadap stunting adalah urutan kelahiran anak dan pemberian makanan tambahan. Hasilnya menjadi anak pertama dan kedua memiliki risiko yang lebih rendah menderita stunting dibandingkan dengan anak di urutan ketiga, keempat, dan kelima atau lebih. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi yang tidak adekuat akibat jumlah anggota keluarga yang lebih banyak. Demikian pula dengan pemberian makanan tambahan yang kurang tepat pada anak, lebih memiliki risiko terjadinya stunting berat akibat pemenuhan nutrisi yang tidak optimal. Pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai usia, meliputi pemberian makanan yang jarang, pemberian jumlah yang tidak mencukupi, dan keragaman makanan yang rendah memiliki keterkaitan terhadap peningkatan stunting pada anak-anak. 

Daerah pesisir berlimpah ikan dan makanan laut. Jika dikelola dengan baik, mengandung protein berkualitas tinggi, yang bermanfaat bagi nutrisi anak-anak. Namun, kemiskinan masih menjadi penghalang bagi para ibu di wilayah pesisir dalam hal menyediakan makanan bergizi untuk anak-anak mereka. Sebagian besar, jenis pekerjaan yang diambil oleh anggota keluarga responden adalah memancing (nelayan) dengan pendapatan bulanan kurang dari upah minimum regional. Daya beli yang rendah berarti ibu memiliki pilihan makanan bergizi terbatas dan kemampuan untuk memenuhi frekuensi makan yang disarankan untuk anak-anak mereka.

Pendapatan yang rendah dengan jumlah anggota keluarga yang banyak, termasuk diantaranya memiliki anak lebih dari dua dapat menimbulkan persaingan dalam konsumsi. Kondisi ini dapat menyebabkan semakin banyak anak semakin tinggi persaingan, sehingga asupan nutrisi untuk anak tidak optimal. Kondisi tersebut juga dapat menyebabkan pemenuhan variasi menu makanan yang sangat minim dan tidak tercapainya ketercukupan gizi anak akibat pilihan makanan yang terbatas.

Adanya sumber daya laut di wilayah pesisir seharusnya dapat menjadi potensi bagi ibu untuk memenuhi nutrisi anak. Makanan bergizi tidak harus mahal dengan pendapatan keluarga yang tinggi untuk memenuhinya. Makanan tersebut dapat diperoleh dari sumber daya yang tersedia melalui pengolahan yang tepat dan pemberian yang tepat, yaitu tepat usia anak, tepat porsi, dan tepat waktu.

Penulis: Ilya Krisnana, S.Kep., Ns., M.Kep.; Eka Mishbahatul Mar’ah Has., S.Kep., Ns., M.Kep.

Informasi detil dari tulisan ini dapat dilihat pada tulisan kami di:  International Journal of Psychosocial Rehabilitation, Volume 24, Issue 7, pp. 9020-9027.

https://www.psychosocial.com/article/PR270891/19247/

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).