Review Studi Kualitatif Tentang Beban Pasien Tuberkulosis yang Resisten Obat

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh popmama.com

Pasien Tuberkulosis (TB) resisten obat adalah pasien TB dimana obat-obatan TB sudah tidak memiliki efek lagi saat diminum. Penyakit TB resisten obat merupakan masalah kesehatan global. WHO, pada 2013 memperkirakan ada 8,6 juta kasus TB pada 2012 dengan 1450 ribu orang menderita TB resisten obat. Data WHO 2015 menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat ke 8 dari 27 negara yang memiliki beban TB resisten obattertinggi di dunia dengan perkiraan 6800 kasus baru setiap tahun.

Pengobatan TB membutuhkan jangka waktu yang lama (sekitar 6-8 bulan) untuk mencapai kesembuhan dengan beberapa obat. Kegagalan pengobatan pada penderita TB akan berisiko menjadi TB resisten obat.Ada beberapa faktor yang berkontribusi dalam TB resisten obat; penggunaan obat anti-TB yang tidak memadai, formulasi penggunaan obat yang tidak efektif (misalnya, penggunaan hanya satu jenis obat, obat berkualitas rendah atau penyimpanan obat yang buruk), dan ketidakpatuhan konsumsi obat anti-TB.Manajemen pasien TB resisten obatlebih kompleks dibandingkan dengan pengobatan pasien TB. Opsi obat untuk mengelola TB resisten obatsangat terbatas dan mahal. Obat yang direkomendasikan untuk mengobati TB-MDR tidak selalu tersedia di fasilitas perawatan kesehatan dan penderita TB mengalami banyak efek samping dari penggunaan obat TB. Selain kesulitan mendapatkan obat untuk TB resisten obat, metode pemberian melalui suntikan obat dan kurang efektif dibandingkan dengan lini pertama, pasien dengan TB resisten obatjuga memerlukan waktu perawatan yang lebih lama dan juga membutuhkan biaya lebih banyak. Waktu yang diperlukan untuk pengobatan TB resisten obatadalah sekitar 2 tahun atau lebih yang akan berdampak pada isolasi sosial, kehilangan pekerjaan dan dampak psikologis dan sosial ekonomi dari penderita TB resisten obat.

Hasil review dari beberapa artikel terkait dengan beban yang dirasakan oleh pasienTB resisten obatdan keluarganya memiliki beberapa kesamaan seperti perasaan stigma dan diskriminasi baik dari diri sendiri, orang lain, dan petugas kesehatan. Stigma yang dirasakan sendiri yang berasal dari penderita TB resisten obatmenyebabkan isolasi sosial di mana penderita sengaja menjauh dari interaksi sosial dengan orang lain [16]. Keterasingan ini disebabkan karena takut menulari orang lain dan takut diperlakukan secara negatif oleh orang lain. Diskriminasi dari masyarakat dan petugas kesehatan dapat menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pasien TB resisten obatdalam menyelesaikan serangkaian perawatan untuk pasien TB resisten obat.

Beban psikologis penderita dan keluarga penderita TB resisten obatadalah ketakutan, frustrasi pada depresi. Penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat depresi pada orang dengan TB resisten obat cukup besar dengan tingkat depresi bervariasi tergantung pada beberapa faktor seperti lamanya pengobatan. Ketakutan yang dialami oleh orang dengan TB resisten obatterutama takut akan penolakan dari orang lain dan takut akan masa depan yang akan dijalani. Pasien dengan TB mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain karena penyakitnya. Merasa frustrasi dengan berbagai obat juga merupakan salah satu penyebab risiko depresi dan risiko ketidakpatuhan terhadap pengobatan pasien TB resisten obat.

Perasaan takut menghubungi TB serta takut mendapat pandangan negatif dari orang lain juga dirasakan oleh keluarga penderita TB resisten obat. Tingkat kontak yang sering dengan anggota keluarga yang menderita TB resisten obatdapat meningkatkan risiko tertular TB. kontak anggota keluarga dengan penderita TB menunjukkan risiko yang relatif tinggi untuk mengembangkan TB. Persepsi dan stigma negatif dilihat untuk mencegah pengambilan dan kepatuhan pengobatan pasien TB resisten obat. Namun, hal itu mendorong beberapa pasien TB resisten obatuntuk menyelesaikan pengobatan mereka untuk menghindari kunjungan rumah oleh petugas kesehatan untuk tindakan pengambilan.

Penderita TB resisten obatdan keluarga merasakan kelelahan fisik karena berbagai perawatan yang harus dilakukan dalam jangka panjang. Berbagai efek samping juga dirasakan oleh orang dengan TB resisten obatyang menyebabkan gangguan fisik dan ketidaknyamanan. Biaya mengobati TB resisten obattinggi. Walaupun sudah ada asuransi kesehatan, biaya yang terkait dengan biaya transportasi, biaya perawatan, dan biaya karena kehilangan pekerjaan adalah hambatan dan beban bagi penderita dan keluarga penderita TB resisten obat. Kami percaya penelitian ini memiliki beberapa implikasi penting untuk perawatan dan pemberian layanan pada pasien TB resisten obatdan keluarga mereka. Pertama, pendidikan perawatan kesehatan yang akurat dan konseling yang diberikan dengan cara yang tidak menghakimi, yang melibatkan anggota keluarga dan mendapatkan dukungan mereka sejak awal, kemungkinan akan meningkatkan komitmen pasien terhadap pengobatan.

Penulis: Rr Dian Tristiana
Link terkait tulisan di atas: https://www.psychosocial.com/article/PR270895/19261/

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).