Resiko Perceraian di Kalangan Buruh Migran Pedesaan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh FaktualNews.com

Bank Indonesia dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada tahun 2019 mencatat jumlah tenaga kerja Indonesia sebagai buruh migran sebanyak 3.701 jiwa. Data sebelumnya yang dihimpun oleh Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, jumlah penduduk Indonesia yang melakukan migrasi ke luar negeri adalah 2.767.316 jiwa. Tekanan ekonomi membuat banyak orang menginginkan pekerjaan meskipun jauh dari tempat tinggal asalnya. Salah satunya banyak penduduk yang melakukan migrasi sebagai buruh migran internasional, termasuk tenaga kerja wanita (TKW). Studi Ariani (2013) menunjukkan bahwa alasan perempuan menjadi buruh migran adalah lapangan kerja di daerah asal tidak tersedia banyak dan keinginan untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Studi-studi sebelumnya menunjukkan penyebab perempuan menjadi TKW karena penghasilan suami kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari hingga pada akhirnya terpaksa mengizinkan istri menjadi TKW.

Perempuan-perempuan tersebut merelakan berpisah dengan keluarga dan anak mereka demi mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Perpisahan orang tua dengan anak selain membawa dampak berupa kesepian, terkadang juga menyebabkan gangguan kecemasan. Faktor eksternal seperti kesuksesan tetangga atau saudara yang pernah merantau sebagai TKW menjadi tolok ukur pemikiran mereka sehingga mereka tertarik untuk bekerja menjadi buruh migran. Para calon TKW ini memiliki nasib yang tidak sama, ada yang sukses dan mendapatkan penghasilan banyak tetapi ada juga mereka yang menjadi korban kekerasan oleh majikan.

Di Jawa Timur, migrasi Internasional buruh migran diminati oleh ibu-ibu rumah tangga tani di pedesaan, setelah melihat sukses migran lama (secara ekonomi) di negara tujuan. Tetapi dibalik sukses ekonomi yang terjadi dalam keluarga buruh migran, ada sejumlah dampak yang muncul dalam keluarga akibat pergeseran relasi kuasa dari suami kepada istri di dalam lingkup budaya patriarki. Kasus perceraian suami- istri dengan memanfaatkan pengacara (lawyer) sudah mulai memasuki ranah keluarga yang tinggal di sektor agraris. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Informan yang dipilih secara purposive by name by address melalui buku catatan perceraian di Kantor Urusan Agama di tiga lokasi kabupaten di Jawa Timur, 5 tahun terakhir. 

Kisah perceraian di kalangan buruh migran yang mirip cerita pada sinema elektronika (sinetron) ini, menarik untuk diungkap, karena ternyata memiliki implikasi yang jauh lebih dalam dari sekedar kasus perceraian biasa. Penggunaan jasa pengacara (Lawyer) dalam kasus perceraian keluarga di pedesaan, juga nampak tidak biasa, terutama jika dilihat dari konstelasi kehidupan yang masih sangat kental dengan ciri agraris, serta dikaitkan dengan dampak perpisahan sementara (selibat sementara) suami-istri setelah istri bekerja di luar negeri. Telah terjadi pergeseran-pergeseran nilai kodrat perempuan menuju ke arah emansipasi perempuan dalam relasi gender (dalam konteks nilai kultural, baca : otoritas laki-laki) di kalangan keluarga buruh migran – khususnya, dalam pengambilan keputusan penting keluarga petani di wilayah pedesaan dewasa ini. Di samping itu, perbedaan rasionalitas yang mendasari keputusan melakukan migrasi sementara waktu ke luar negeri, (menjadi buruh migran) sebelum berangkat dan setelah kembali dari luar negeri. Secara ringkas, studi ini menemukan posisi dan peran perempuan dalam rumah tangga tani di pedesaan yang mulai bergeser.

Selama beberapa dekade sebelumnya, peran perempuan pedesaan amatlah tidak berarti, terutama yang berhubungan dengan pengambilan keputusan-keputusan penting keluarganya termasuk keputusan sendiri untuk bekerja di luar negeri. Inisiatif dan keputusan untuk bercerai dalam keluarga agraris yang paternalistik, tidak lagi didominasi oleh pihak suami. Penguasaan sumber daya ekonomi oleh migran perempuan telah menjadi basis yang kuat dalam meningkatkan posisi tawar mereka, sehingga menyebabkan otoritas suami mampu dibeli oleh istrinya (otoritas lokal terbeli). Basis sumber daya ekonomi migran perempuan dan perpisahan antara suami-istri dalam waktu relatif lama menjadi pemicu terjadinya perceraian keluarga migran. 

Penulis: Ida Bagus Wirawan & Siti Mas’udah

Link terkait tulisan di atas: https://www.ijicc.net/images/vol_13/13197_Wirawan_2020_E_R.pdf

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).