Menggali Lebih dalam Pola Tuturan Laki-Laki dan Perempuan Asal Surabaya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi simbol laki-laki dan perempuan. (Sumber: Sabak)

Perempuan kerap kali mengeluh betapa sulitnya berbicara kepada laki-laki. Begitupula dengan kaum adam yang sering kali dibuat bingung saat berusaha memahami ucapan para perempuan. Ini acap kali terjadi walaupun kedua belah pihak berbicara menggunakan bahasa yang sama. Maka, pola komunikasi laki-laki dan perempuan selalu menjadi topik yang menarik untuk dikaji. Memahami bagaimana laki –laki dan perempuan sebagai anggota masyarakat tertentu dalam mengonstruksi kalimat ujarannya saat menyampaikan gagasan mereka dapat menjadi sarana untuk memahami kebudayaan mereka. Dengan memahami konstruksi tuturannya, diharapkan akan lebih mudah untuk memahami maksud dari penutur bahasa tersebut.

Penelitian yang berjudul Kecenderungan Pola Kalimat dalam Tuturan Laki-Laki dan Perempuan: Studi Kasus pada Tuturan Dua Karyawan Jawa Pos Surabaya mengungkap sebagian pola tuturan dari penutur asli Surabaya. Umumnya, Bahasa Jawa memiliki tiga register; Ngoko, Ngoko Alus/Krama Madya, dan Krama. Perbedaan dari ketiganya terletak pada kosakata dan imbuhan (Tamtomo 2018: 7). Meskipun demikian, bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya memiliki ciri khas tersendiri.

Masyarakat Surabaya yang egaliter hampir tidak pernah atau sama sekali tidak menggunakan register Krama ketika berbicara dengan lawan jenis atau masyarakat yang lebih tua. Sehingga, untuk menemukan tuturannya, diperlukan analisis yang lebih mendalam menggunakan teori topicality hierarchy (Givón, 1976) dan transitivitas bahasa (Hopper & Thompson, 1980).

Secara keseluruhan, dari semua kalimat yang dianalisis, tidak semua kalimat yang dituturkan masing-masing partisipan merupakan kalimat lengkap. Terdapat banyak kalimat yang mengalami pelesapan agent. Partisipan laki-laki cenderung menitikberatkan fokus tuturan pada hal yang bukan manusia karena fokus tuturan lebih ditekankan pada kegiatan dan keterangan (penggunaan kata kerja dan kata keterangan). Namun sebaliknya, partisipan perempuan lebih menekankan kepada manusia karena tuturannya menekankan pada agent atau pelaku kegiatan (Subjek dan kata benda). Selain itu, karena karakter bahasa perempuan lebih detail dan spesifik daripada karakter bahasa laki-laki (Lakoff, 1975), maka lebih banyak ditemukan kalimat definite dalam tuturan partisipan perempuan daripada partisipan laki-laki.

Berlawanan dengan itu, kalimat indefinite lebih banyak ditemukan pada tuturan partisipan laki-laki. Dengan kata lain, tuturan partisipan perempuan lebih terperinci karena menggunakan pola kalimat yang merujuk suatu benda tertentu. Sementara kalimat yang digunakan partisipan laki-laki cenderung tidak merujuk pada apapun (indefinite). Pada tuturan kedua partisipan juga ditemukan bahwa partisipan laki-laki lebih memfokuskan pada pihak ketiga (3rd person point of view) daripada pihak pertama (1st person point of view). Hal ini berlawanan dengan kecenderungan partisipan perempuan yang, selaras dengan teori Givon (1976), lebih memfokuskan tuturan pada pihak pertama.

Pada ranah transitivitas, kajian ini menemukan bahwa tuturan partisipan perempuan lebih transitif daripada tuturan partisipan laki-laki. Hal ini dikarenakan ada lebih banyak poin transitivitas yang digunakan partisipan perempuan dalam tuturannya dibandingkan partisipan laki-laki. Selain itu, analisis transitivitas kalimat pada tuturan masing-masing partisipan menunjukkan bahwa tuturan pihak laki-laki memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap objek kalimat dibandingkan agent yang digunakan oleh partisipan perempuan. Hal ini terjadi karena ada kemungkinan bahwa pada masyarakat Jawa perempuan masih merupakan pihak yang lebih pasif dibandingkan dengan laki-laki, dibandingkan dengan tuturan perempuan, tuturan pihak laki-laki menunjukkan pengaruh yang lebih kuat terhadap objek kalimat berlawanan dengan jumlah agent yang digunakannya dalam tuturannya.

Dari kajian ini terlihat bahwa pola dan fokus kalimat yang digunakan partisipan perempuan dan laki-laki saat bertutur cukup berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa, meskipun berasal dari satu komunitas masyarakat yang sama, baik partisipan perempuan dan laki-laki lebih mengutamakan poin yang berbeda dalam tuturannya. Namun, kajian ini memang masih belum dapat dikatakan mewakili keseluruhan populasi perempuan dan laki-laki karena masih dalam studi kasus.

Penulis: Angkita Wasito Kirana

Artikel lengkapnya dapat dilihat pada link berikut ini:

https://www.widyaparwa.com/index.php/widyaparwa/article/view/310

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).