Pengembangan Tanaman Obat Akar Kayu Kuning sebagai Antibakteri

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Resistan antibiotika  terhadap berbagai agen infeksi berkembang dengan pesat di  dekade ini. Hal ini  diakibatkan oleh kegagalan atau  pengobatan antimikroba yang tidak optimal sehingga mengakibatkan perubahan struktur bakteri, sebagai contoh: Methicillin Resistant Staphylococcus aureus dan Multiple Drug Resistant Escherichia coli. Kondisi ini mendorong pengembangan pengobatan tradisional atau fitofarmaka yang berasal dari alam  untuk mengobati infeksi mikroba.

Di Indonesia, ramuan tradisional telah lama digunakan dan dikenal sebagai Jamu. Ramuan tradisional ini berasal dari hutan atau tanaman yang berada di perkarangan dan telah banyak digunakan penduduk setempat untuk pengobatan berbagai penyakit. Kalimantan, salah satu pulau di Indonesia memiliki ramuan tradisional yang banyak digunakan oleh etnik Dayak untuk mengobati penyakit, diantaranya ramuan yang berasal dari Coscinium fenestratum (Goetgh) Colebr (CF)  dan Fibraurea tinctoria Lour (FT). Kedua tumbuhan ini adalah famili Menispermaceous dan dikenal sebagai akar kuning.

Dalam mengunakan kedua tumbuhan ini, suku dayak di Kalimantan menganggap sama kedua tanaman dan menyebutnya akar kuning karena batang tanaman ini berwarna kuning. Mereka menggunakan kedua tanaman ini sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit diare, disentri, malaria, penyakit kulit, diabetes dan penyakit kuning. Oleh karena kemampuanya yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit membuat para ilmuwan tertarik untuk mengeksplorasi tanaman ini.

Salah satu ilmuwan tertarik untuk meneliti tananman FT  adalah Andreas et al (2018). Hasil penelitian  yang mereka lakukan dengan mengeksplorasi ekstrak daun dan akar FT menunjukkan jika FT  memiliki kemampuan sebagai antimikroba terhadap Enterococcus faecalis, tetapi tidak memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa). Penelitian Andreas et al, (2018) memiliki perbedaan hasil  dengan penelitian yang dilakukan Zalizar et al, (2019).

Mereka membuktikan, jika kombinasi ekstrak batang dan akar FT  memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan S. aureus dan E.coli. Hasil penelitian lebih lanjut dari Zalizar et al (2019) Kemampuan antibakteri  tidak hanya ditemukan pada tanaman FT tetapi  juga pada ekstrak batang CF, dimana  ekstrak batang CF dapat menghambat S. aureus dan Streptococcus pyogenes (S. pyogenes).

Kemampuan tanaman ini untuk menghambat atau membunuh bakteri dikarenakan keduanya mengandung senyawa kimia yang dikenal sebagai metabolit sekunder. Metabolit sekunder adalah senyawa kimia yang terbentuk selama proses metabolisme normal. Ada beberapa kelas diantaranya alkaloid, tanin, flavonoid, kumarin, glikosida, fenol, terpenoid dan terpena yang memiliki kemampuan menghambat atau membunuh bakteri sehingga sangatlah penting mengali kemampuan aktivitas metabolit sekunder ini yang dapat digunakan untuk terapi pengobatan penyakit akibat bakteri yang telah resistan terhadap antimikroba.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kemampuan ekstrak batang CF dan FT serta kemampuan metabolit sekunder yang dikandung kedua tanaman ini untuk menghambat atau membunuh  MSSA, MRSA dan MDR E.coli.

Batang tanaman diperoleh dari Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Identifikasi CF.  dan FT dilakukan di Laboratorium Dendrologi dan Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda. Kedua batang tanaman itu dicuci dengan air suling, kemudian dikeringkan di suhu ruang dengan cara diangin-anginkan. Setelah kering dilakukan maserasi dalam etanol 60% selama tiga hari. Sediaan di sentrifuse dengan sentrifuse orbital Setiap hari, dengan kecepatan 2 rpm selama 10 menit (ulang tiga kali). Ekstrak disaring dengan f fiberglass filter dan pompa vakum, kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan beku (freezedry).  Ekstrak tumbuhan yang telah kering disimpan pada suhu 4°C.

FT memiliki aktivitas bakteri yang lebih besar (15 ± 0,1) terhadap MRSA pada konsentrasi 8 mg/ mL dibandingkan CF (12,1 ± 0,1). Namun demikian, aktivitas antibakteri FT memiliki kemampuan yang lebih rendah pada bakteri MSSA (10,1 ± 0,0) daripada CF (12,1 ± 0,0) pada konsentrasi yang sama juga. Menurut data ini, kedua tanaman dapat digunakan untuk mengembangkan antibakteri baru, karena keduanya memiliki zona penghambatan yang lebih tinggi pada konsentrasi 4 mg/ mL dan 8 mg/ mL dibandingkan dengan Metisilin 10 μg/ mL dan oksasilin 1 μg/ mL terhadap MSSA, MRSA, dan MDR E. coli.

Berdasarkan data yang diperoleh  efek antibakteri terhadap MRSA meningkat sesuai dengan peningkatan konsentrasi. Hasil ini  sama  dengan hasil statistic menggunakan analisis regresi linier, dimana ada perbedaan yang signifikan antara zona hambat FT dan CF terhadap MRSA dan MSSA pada konsentrasi 8 mg / mL (p <0,001). Sedangkan terhadap MDR E. coli perbedaan zona hambatan antara FT dan CF   signifikan pada konsentrasi 4 mg / ml dengan p = 0,12 (p <0,05).

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan  C. fenestratum (CF) dan F. tinctorial (FT) memiliki efek antibakteri, tetapi kemampuan antibakteri  FT lebih kuat disbanding CF. Oleh karena itu FT dapat dikembangkan menjadi kandidat antimikroba baru.

Penulis: Hendrik Setia Budi

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.sysrevpharm.org/fulltext/196-1589879382.pdf?1593611495

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).