Menilik Substansi Rilisan Pers Mahasiswa UNAIR Pro-Demokrasi Sebagai Respon Insiden Pembatalan Diskusi CLS FH UGM

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Pada Jumat (5/6/2020) silam, solidaritas aksi Mahasiswa UNAIR Pro-Demokrasi yang terdiri atas tujuh BEM Fakultas yang diprakarsai oleh BEM FH UNAIR. Mereka mengeluarkan rilisan pers sebagai respon terkait insiden pembatalan diskusi yang diadakan oleh Constitutional Law SocietyFakultas Hukum UGM (CLS FH UGM) setelah narasumber dan panitia mengalami persekusi, peretasan, dan ancaman pembunuhan. Hal itu dikarenakan tajuk diskusi tersebut membahas soal potensi pemberhentian Presiden dari perspektif Hukum Tata Negara yang dianggap sebagai upaya makar. Diskusi tersebut berjudul “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”.

Untuk menilik lebih jauh substansi dari rilisan pers tersebut, tim redaksi menemui Khristianti Weda, seorang mahasiswa FH UNAIR angkatan 2017 yang sedang menjabat sebagai Dirjen Kajian Strategis (Kastrat) Kementrian Sosial dan Politik BEM FH UNAIR. Sebagai pemrakasa solidaritas aksi tersebut, Kastrat merupakan penyusun dari draf rilisan pers itu. Weda, sapaan karibnya, menjelaskan bahwa substansi dari rilisan pers tersebut menganalisa insiden yang terjadi di Yogyakarta itu dari perspektif hak asasi manusia. Judul rilisan pers itu adalah “Merespon Kabar dari Yogya Tentang Pemberangusan Mimbar Akademik dan Pernyataan Sikap Bersama Mahasiswa Universitas Airlangga Pro-Demokrasi”.

“Karena draf itu disusun dengan perspektif hak asasi manusia, kami sangat mendasarkan argumen hukum kami dengan buah hasil dari Era Reformasi, yaitu Pasal 28-28J UUD NRI 1945 yang menjamin berbagai macam hak asasi warga negara Indonesia dalam hierarki hukum tertinggi. Oleh karena itu, topik diskusi yang kontroversial tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk melakukan pelanggaran hak,” tutur Weda saat diwawancarai pada Minggu sore (7/6/2020).

Weda menjelaskan bahwa persekusi dan ancaman pembunuhan yang diterima korban agar diskusi itu dibatalkan merupakan pencederaan dari kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat yang tidak hanya dijamin dalam konstitusi, namun juga UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Ia menambahkan bahwa sekalipun topik diskusinya rentan terhadap kontroversi, diskusi itu digelar dalam konteks ilmiah keilmuan. Jadi sejatinya merupakan perwujudan kebebasan mimbar akademik yang dilindungi dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

“Tidak hanya itu, apabila kita melihat dalam konteks hukum internasional, Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional yang melindungi hak asasi manusia, seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005. Dalam ICCPR, kebebasan berserikat dengan damai dan kebebasan berpendapat juga dijamin. Jadi dapat ditarik benang merahnya bahwa kebebasan berserikat dan berpendapat merupakan hal vital yang harus dimiliki oleh manusia dan dijamin dalam norma hukum,” tegas mahasiswa asal Bali itu.

Terakhir, Weda sangat menyayangkan terjadinya persekusi dan ancaman pembunuhan yang dialami oleh CLS FH UGM dan berharap agar pihak yang berwenang segera mengusut tuntas kasus itu. Menurutnya, kejadian itu merupakan peringatan kelam bagi mahasiswa di seluruh Indonesia bahwa kebebasan mimbar akademik masih rentan.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).