Hidrogel – Teknologi Pencegah Penempelan Organ Dalam berbasis Asam Hialuronat dan Kitosan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi by IDN Times

Organ dalam tubuh manusia dapat mengalami kasus penempelan (adhesi intraperitoneal) pasca adanya tindakan operasi, terutama pada daerah dinding perut dan organ reproduksi. Kasus adhesi intraperitoneal ini bukanlah hal baru, bahkan hampir seluruh pasien (nilai keseringan kasus hingga 97%) pasca operasi dinding perut dan organ reproduksi berisiko untuk mengalami adhesi intraperitoneal

Adhesi intraperitoneal dapat dikatakan sebagai efek samping utama dari operasi pembedahan. Sebenarnya, hal ini merupakan respon natural dari tubuh dalam menghadapi jaringan yang baru saja rusak akibat mengalami tindakan operasi. Namun, respon natural tersebut sayangnya dapat mengganggu kerja organ tubuh hingga mengalami komplikasi mulai dari nyeri pada bagian perut dan organ reproduksi, hingga infertilitas (kemandulan). 

Solusi umum dari adhesi intraperitoneal adalah pemasangan suatu bahan untuk menghalangi proses penempelan antar organ pasca operasi, dengan tetap membiarkan masing-masing jaringan pada organ tersebut untuk menyembuhkan diri hingga benar-benar pulih. Bahan yang akan dipasang langsung dalam tubuh untuk menghalangi penempelan organ tersebut dinamai hidrogel. 

Hidrogel

Hidrogel merupakan teknologi yang sudah lama dikembangkan dan diaplikasikan pada kasus pasca operasi. Hidrogel harus memiliki karakteristik spesifik seperti dapat diterima oleh tubuh (biokompatibel), tidak menimbulkan peradangan (non-inflamasi), mampu mempertahankan strukturnya, dapat terurai (biodegradable) dengan aman dalam jangka waktu tertentu dan tidak beracun bagi tubuh (non-sitotoksik). 

Telah digunakan berbagai bahan dalam pembuatan hidrogel untuk meraih nilai-nilai kecocokan yang paling baik bagi tubuh. Salah satu bahan yang sering digunakan adalah kitosan. Kitosan merupakan senyawa organik yang memiliki sifat dapat biodegradable dan sering digunakan sebagai bahan medis. Bahan lain yang sering digunakan adalah asam hialuronat yang memiliki kadar biokompabilitas tinggi dan cocok digunakan sebagai bahan baku hidrogel. Pada penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti dkk, dilakukan pencarian komposisi kombinasi terbaik dari asam hialuronat dan kitosan sebagai bahan baku hidrogel. 

Digunakan dua bahan baku utama untuk hidrogel yaitu asam hialuronat dan kitosan. Asam hialuronat diolah sehingga dihasilkan zat berbentuk Aldehyde – Hyaluronic Acid atau AHA, sementara kitosan sendiri diolah menjadi sintesis N, O-carboxymethyl chitosan atau NOOC. Dari bahan baku AHA dan NOOC tersebut, dibuat empat buah sampel dengan perbedaan rasio komposisi di masing-masing sampel tersebut. Sampel A memiliki komposisi murni AHA yang wujudnya cair. Sementara untuk sampel B, C dan D memiliki rasio komposisi antara AHA dan NOOC masing-masing 3:1, 3:2 dan 3:3.

Pencarian Komposisi Bahan Hidrogel yang Aman bagi Tubuh Manusia

Dari keempat sampel tersebut, dilakukan tiga buah uji untuk mengukur kecocokan bahan. Uji pertama yaitu analisis swelling atau‘pembengkakan’ dilakukan untuk mengukur perbedaan volume dari keempat sampel. Analisis swelling menggunakan gravimetric formula ini menunjukkan bahwa sampel B, C dan D memiliki batas pembengkakan yang aman bagi tubuh (dibawah 225%), sementara sampel A yang memiliki wujud cair tidak dapat diuji kadar pembengkakannya. Diketahui bahwa semakin tinggi kandungan kitosan pada sampel, semakin rendah kadar pembengkakan yang dialami oleh sampel, akibat dari kitosan yang menahan penyerapan air. Nilai dari analisis swelling ini menggambarkan bahwa hidrogel akan mengembang ukurannya dalam batas aman bagi tubuh. Jika hidrogel mengembang terlalu besar, pasien dapat mengalami kesakitan dan luka pasca operasi sulit untuk disembuhkan. 

Uji kedua adalah uji degradasi in vitro. Uji in vitro merupakan simulasi yang dilakukan untuk menggambarkan sifat bahan dalam tubuh. Keempat sampel direndam selama 14 hari dalam larutan yang mewakili kondisi tubuh. Kemudian diamati laju degradasi berupa pengurangan massa dari sampel tersebut. Dari keempat sampel, hanya sampel A dengan bentuk cairan yang tidak lolos standar uji. Sementara sampel B, C dan D lolos dalam memenuhi standar uji degradasi dengan nilai 86 – 93% degradasi selama 14 hari. 

Pengujian kemungkinan bahan beracun bagi tubuh (uji sitotoksisitas) dilakukan pada kultur sel yaitu sel biakan yang memiliki sifat serupa dengan sel dalam tubuh. Uji sitotoksisitas mengacu pada jumlah sel yang hidup setelah sel kultur dan sampel disatukan untuk waktu tertentu. Uji ini memanfaatkan metode MTT Assay. Dari keempat sampel, didapatkan nilai sel yang hidup ada di rentang 51 – 99% yang berurutan dari sampel D ke sampel A. 

Hidrogel yang dibuat untuk mengatasi masalah adhesi intraperitoneal harus memiliki kecocokan bagi tubuh. Hidrogel yang dibuat harus memiliki konsistensi bentuk yang stabil namun tidak terlalu lunak, juga tidak beracun dan dapat terurai sendirinya dengan aman oleh tubuh. Seluruh komposisi rasio AHA dan NOOC yang digunakan memiliki nilai analisis sesuai dengan standar yang diperlukan. Namun, sampel yang memiliki nilai kecocokan tertinggi adalah sampel B dengan rasio AHA:NOOC sebesar 3:1, yang artinya hidrogel AHA-NOOC yang baru dikembangkan ini bersifat aman untuk digunakan pada kasus adhesi intraperitoneal

Penulis: Dr. Prihartini Widiyanti,drg, M.Kes

Link jurnal: https://www.scientific.net/JBBBE.52.47

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp