Faktor dan Kualitas Hidup Penderita Hepatitis B

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Hepatitis B. (Sumber: Dokter Sehat)

Indonesia masih tetap menghadapi berbagai penyakit infeksi dengan angka insidensi yang tinggi, salah satunya Hepatitis B. Sebagai negara dengan endemik infeksi hepatitis B tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Myanmar, memiliki potensi untuk berkembang menjadi penyakit serius yang dapat meningkatkan angka kematian. Kondisi Hepatitis B yang menjadi kronis 50% pasien berpotensi menjadi penyakit hati kronis dan 10% berpotensi fibrosis hati yang dapat menyebabkan kanker hati. Perburukan penyakit yang berlangsung progresif ini bisa mempengaruhi kualitas kehidupan dari penderita Hepatitis B.

Kualitas hidup adalah persepsi pada individu tentang kondisi umum baik aspek positif maupun negatif berdasarkan pengalaman selama hidup mereka. Kualitas hidup sangat dipengaruhi oleh status kesehatan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Berbagai penelitian telah mengukur kualitas hidup telah dilakukan selama beberapa tahun. Selain itu, kualitas hidup setiap individu akan diukur dengan baik dan mampu menggambarkan persepsi pribadi pasien, pengalaman pasien untuk menjaga kesehatan dan menikmati hidup, baik atau puas dalam kehidupan dan kondisi psikologis untuk menghadapi kondisi tersebut.

Memburuknya kondisi kualitas hidup pasien hepatitis B kronis dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang berkontribusi, termasuk faktor-faktor yang berasal dari internal serta dukungan dari lingkungan sekitarnya. Jika pasien tidak mendapatkan kualitas hidup yang baik, kondisi tingkat keparahan hepatitis B juga akan semakin buruk, terutama pasien yang baru saja didiagnosis dengan hepatitis B dan kondisi tersebut telah mengalami keterlambatan pengobatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti dari divisi Gastroentero-Hepatologi Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran, RSUD Dr. Soetomo, Institute of Tropical Disease, Universitas Airlangga berhasil mempublikasikan laporan kasusnya pada salah satu jurnal internasional, yaitu International Journal of Psychosocial Rehabilitation, yang melaporkan  kualitas hidup penderita Hepatitis B menunjukkan hasil yang baik. Ibu rumah tangga dengan hepatitis B memiliki kualitas hidup yang lebih baik daripada karyawan.

Selain itu, setelah disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, dan obat-obatan secara teratur, ibu rumah tangga memiliki kualitas hidup 21 kali lebih tinggi daripada karyawan. Pasien hepatitis B dengan pendapatan lebih rendah memiliki kualitas hidup yang lebih baik, selain itu, pasien hepatitis B yang didiagnosis kurang dari atau sama 2 tahun dan durasi pengobatan kurang dari atau sama dengan 1 tahun memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Usia, jenis kelamin dan status pekerjaan memiliki pengaruh terhadap kualitas hidup 19 kali lebih tinggi.

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan kualitas hidup pasien hepatitis B memiliki hubungan yang erat dengan pekerjaan dan pengobatan secara teratur. Pasien yang tidak bekerja, seperti ibu rumah tangga memiliki kualitas hidup yang sangat baik daripada pasien yang bekerja sebagai karyawan. Ibu rumah tangga memiliki banyak waktu di rumah dan tidak mengurus pekerjaan lain di luar rumah, karena mereka menyerahkan semua tanggung jawab pekerjaan kepada suami. Oleh karena itu, mereka mungkin memiliki tingkat stres yang lebih rendah, dibandingkan dengan wanita karier yang memiliki beragam pekerjaan yang membutuhkan target.

Selain itu, ibu rumah tangga hanya mengurus kehidupan di rumah, mereka dapat beristirahat dan menikmati waktu luang mereka untuk bersantai setelah semua pekerjaan rumah tangga. Sedangkan untuk wanita karir, mereka memiliki kewajiban untuk mengurus rumah tangga dan bekerja dan menurunkan kualitas hidup. Penting bagi individu dengan virus hepatitis B dalam tubuh mereka untuk menjaga stres agar kesehatannya tidak bertambah buruk.

Kualitas hidup yang lebih baik ditemukan pada pasien yang minum obat secara teratur karena hasil yang lebih baik. Pasien dengan HBsAg aktif masih dapat bertahan hidup secara normal dan tidak jatuh dalam kondisi sakit. Keberhasilan terapi antivirus untuk mengurangi viral load menjaga tubuh tetap sehat, sehingga memberi mereka kepercayaan diri yang lebih tinggi dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Insiden nyeri juga lebih berpotensi untuk berkembang menjadi komplikasi, oleh karena itu kualitas hidup akan menurun. Kualitas hidup akan lebih baik jika kematangan usia berada pada kisaran usia produktif (20-50 tahun), sedangkan pada usia yang lebih muda atau lebih tua tingkat kesiapan dalam menghadapi penyakit semakin rendah.

Tingkat pendidikan yang tinggi memiliki hubungan yang erat dengan kesiapan pasien untuk menerima penyakit. Individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki lebih banyak pengetahuan daripada mereka yang tidak mendapatkan pendidikan formal. Namun, dalam penelitian ini, pasien tanpa riwayat pendidikan memiliki kualitas hidup yang lebih baik daripada sarjana. Setelah diselidiki lebih lanjut, itu dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti dukungan dari keluarga, kesadaran diri yang tinggi, tidak bekerja dan tidak memiliki banyak kegiatan lain, sehingga kondisi kesehatan mereka juga terjaga dengan baik. (*)

Penulis: Muhammad Miftahussurur

Informasi yang lebih rinci dari penelitian ini dapat dilihat pada artikel kami di International Journal of Psychosocial Rehabilitation, berikut kami sertakan link rujukannya:

https://www.psychosocial.com/article/PR270972/20170/

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).