Menilik Sunat Perempuan dan Konstruksi Seksualitas Perempuan Madura

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Penelitian ini mengeksplorasi praktik sunat perempuan yang ada di kalangan etnis Madura di Provinsi Jawa Timur Indonesia. Praktik ini sudah lama diyakini sebagai bagian dari proses Islamisasi serta melindungi tradisi budaya masyarakat etnis di Madura. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki dua rumusan masalah yaitu prevalensi sunat perempuan di tiga kabupaten di Pulau Madura, menggunakan survei kuantitatif; dan konstruksi budaya seksualitas perempuan, menggunakan metode kualitatif yang berfokus pada observasi dan wawancara mendalam dengan wanita, tokoh masyarakat, dan guru agama.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa lebih banyak perempuan yang disunat sejak bayi (di bawah usia satu) dengan mereka yang berada di masa remaja. Pandangan tradisional pada tubuh wanita dan seksualitas sangat mempengaruhi kelanjutan praktik budaya. Selain itu, analisis pengamatan menunjukkan bahwa masyarakat Madura terus meyakini hal itu perempuan yang diidentifikasi sebagai Muslim harus disunat. Wanita yang tidak disunat dianggap telah mengkhianati identitas agama, etnis, dan budaya mereka. Lebih jauh, wanita tidak bisa menolak atau meminta untuk tidak disunat, seperti banyak keluarga tradisional dan pemimpin agama percaya bahwa praktik ini diperlukan memurnikan tubuh wanita dan seksualitasnya.

Sunat perempuan dan konstruksi seksualitas perempuan di masyarakat termasuk di antaranya banyak perdebatan global yang kompleks dan belum selesai. Studi ini memiliki hubungan dengan studi sebelumnya tentang prevalensi sunat perempuan di Madura. Pada awal 2000-an, penulis melakukan penelitian serupa tentang praktik sunat perempuan dan mengamati praktik pemotongan klitoris bayi (disebut klitoridektomi) oleh seorang praktisi wanita tradisional (secara lokal dikenal sebagai dukun) di Sampang, salah satu sub-wilayah Pulau Madura terletak di Provinsi Jawa Timur Indonesia. Praktik sunat perempuan masih berlanjut di komunitas etnis Madura. Dalam beberapa dekade terakhir, kampanye sosial oleh petugas kesehatan, pemerintah peraturan, dan organisasi pembangunan internasional telah mempromosikan dan memberlakukan penghentian mutilasi alat kelamin wanita. Indonesia memiliki sekitar 210 juta Muslim, yang merupakan salah satu populasi Islam terbesar di dunia, dan merupakan negara di mana organisasi keagamaan dapat menerapkan praktik-praktik ini dengan kuat. Dari 2017 hingga 2018, kami menyelidiki kembali praktik sunat perempuan apakah ada atau tidak ada perubahan dalam persepsi dan sikap terhadap kebiasaan.

Lebih lanjut, kami juga memeriksa kembali apakah masyarakat Madura tidak mengubah persepsi tentang definisi sunat perempuan dan seksualitas perempuan dalam konteks Indonesia yang modern. Penelitian ini berfokus pada dua masalah utama. Pertama, prevalensi sunat perempuan di antara bayi dan perempuan anak-anak di bawah usia lima tahun menggunakan survei kuantitatif, dan kedua, studi tentang konstruksi budaya seksualitas perempuan yang saat ini ada di Madura. Pelajaran ini dilakukan di daerah terpencil di Pulau Madura, di mana kami menyaksikan latihan, dan mendengar kisah mutilasi genital di beberapa desa terpencil di Madura.

Penelitian ini telah didorong oleh prevalensi sunat perempuan (atau perempuan mutilasi genital), yang dianggap berbahaya bagi tubuh seksual wanita, dan melemahkan keberadaan hak-hak perempuan dalam budaya tradisional dan konservatif konteks. Berbagai penelitian menemukan bahwa praktik ini telah lama dikampanyekan menentang. Studi-studi ini difokuskan di beberapa negara Afrika, Amerika Selatan, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, di mana beberapa komunitas etnis terus melakukan praktik ini. Namun, ada penelitian lain yang menyatakan sunat perempuan sebagai tindakan yang kurang berbahaya, khususnya di Malaysia.

Dalam beberapa budaya yang didominasi oleh patriarki dan konservatisme agama, sunat perempuan telah menjadi penghalang budaya yang penting bagi seksual perempuan. Hak dalam masyarakat tradisional ini menyatakan bahwa praktik sunat perempuan ditegakkan untuk melemahkan hasrat seksual dan membuat wanita rentan terhadap dominasi pria. Menurut situasi dalam bidang penelitian, praktik ini tidak dapat dengan mudah dihapuskan atau dihentikan, karena sebagian besar orang terus menolak tekanan eksternal yang telah ditempatkan pada konstruksi budaya mereka. Ini adalah fakta yang biasanya dilakukan oleh para pemangku kepentingan agama tidak menerima perubahan sosial dalam masyarakat. Tradisional norma dan kepercayaan Islam telah menjadi doktrin budaya dalam beberapa orang Jawa provinsi, dan banyak yang terus melakukan sunat pada bayi perempuan.

Penelitian ini bertujuan untuk menyoroti dimensi budaya sunat perempuan dan seksualitas di wilayah Pulau Madura. Data menemukan bahwa praktik ini dipertahankan melalui pelestarian tradisi sosial-budaya dan norma agama. Praktik ini dilakukan terutama pada bayi perempuan yang baru lahir, dan bayi di bawah usia satu tahun. Praktik budaya ini menunjukkan perempuan sunat dipandang sebagai bagian dari proses Islamisasi bagi umat Islam, dan membentuk prosedur ‘pemurnian feminin’ untuk wanita Muslim.

Temuan dari studi sebelumnya menunjukkan bahwa praktik tersebut juga telah diperlakukan sebagai praktik tradisional, dan dipatenkan sebagai salah satu fondasi masyarakat Madura dalam modernisasi konteks Indonesia. Studi saat ini juga mengungkapkan bahwa faktor-faktor lain, seperti kurangnya pendidikan, kemiskinan, dan berkurangnya pemahaman tentang masalah yang berkaitan dengan reproduksi wanita kesehatan, seksualitas, dan hak gender, serta kerentanan perempuan jatuh dalam norma-norma budaya, telah memungkinkan praktik sunat perempuan terus berlanjut dianggap “alami”. Praktik ini juga dipelihara oleh agama setempat, profesional kesehatan, serta pemerintah daerah. Wanita mengakui bahwa mereka tidak merasakan sakit, bahkan ada yang sangat percaya bahwa mereka telah menjadi cukup baik untuk menjadi “wanita sejati” setelah disunat. Namun, wanita tidak dapat mengendalikan tubuh dan kesenangan seksual mereka sendiri. Mereka tetap hidup dalam konservatisme budaya dan agama. Wanita terus menerus dianggap sebagai objek seksual, dan masih menerima tekanan dari komunitas mereka sendiri meliputi norma dan kepercayaan etnis untuk menjadi pelaku kesenangan seksual yang sempurna bagi suami, bahkan kasus ini juga diartikan dapat mengorbankan organ seksual mereka sendiri.

Penulis: Muhammad Saud

Informasi detail tentang penelitian ini dapat dilihat di:

https://doi.org/10.1007/s12119-020-09732-6

Rachmah Ida, Muhammad Saud. 2020. Female Circumcision and the Construction of Female Sexuality: A Study on Madurese in Indonesia.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).