Menilik Identitas Agama dan Kewarganegaraan Perempuan Syiah di Madura

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Artikel ini mengeksplorasi ekspresi bagaimana pengungsi Muslim Muslim lokal mendefinisikan dan menafsirkan identitas agama dan kewarganegaraan gender mereka di Indonesia pasca-otoriter. Artikel ini membahas kasus-kasus perempuan Syiah dari Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Indonesia, setelah konflik 2012 yang membuat mereka menjadi pengungsi internal (IDPs, Bahasa Indonesia: pengungsi). Studi ini berpendapat bahwa identitas agama dan kewarganegaraan gender dibangun oleh para perempuan Syiah yang terlantar. Loyalitas mereka kepada kepercayaan agama tidak muncul dari pencarian independen untuk ‘Islam sejati’ melainkan dari doktrin para guru / pemimpin spiritual. Loyalitas yang dipaksakan kepada Syiah dalam praktik ritual komunal mereka sehari-hari telah memengaruhi pembentukan identitas keagamaan perempuan Syiah.

Fenomena isu sektarian dan agama di kalangan perempuan pengungsi adalah selalu menjadi perhatian di antara para sarjana (Friedman 2018). Pada 8 Agustus 2012, seorang anti-Syiah Massa membakar puluhan rumah milik pengikut Islam Syiah di Karang Desa Gayam di Kabupaten Sampang, mengakibatkan kematian dua anggota dan puluhan penganut Syiah cidera. Ratusan orang ikut serta dalam pembakaran dan perusakan properti Syiah di desa, termasuk ladang padi dan ternak. Para Syiah yang rumahnya dibakar sementara waktu mengungsi di sekolah selama tiga hari setelah kejadian. Yang lain dikejar dan dibunuh oleh kelompok anti-Syiah yang sama.

Ada sekitar 500 Syiah di Sampang (The Jakarta Post, 27 Agustus 2012). Para pengungsi Syiah kemudian diberi perlindungan dengan tinggal di Stadion Olahraga Sampang selama 2 minggu sebelum dipindahkan dari Pulau Madura ke unit apartemen umum yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Jemundo, Kabupaten Sidoarjo, yang berbatasan dengan Surabaya, ibukota Jawa Timur. Kini masih ada 225 korban Syiah yang tetap tinggal di unit apartemen murah dengan masa depan yang tidak pasti. Entah mereka akan dapat kembali ke rumah atau kampung halaman. Konflik antar agama antara komunitas Sunni dan Syiah di Madura telah terjadi selama bertahun-tahun. Era pasca reformasi telah menyaksikan beberapa konflik besar dan insiden antara Sunni dan Syiah di Pulau Madura. Madura adalah rumah bagi mayoritas penduduk Sunni (lebih terlihat, pengikut Ahlussunnah waljamaah. Sampang adalah salah satu kabupaten di Pulau Madura dengan kondisi cuaca kering, dan penduduknya menderita kekeringan dan kemiskinan yang parah.

Penelitian ini membahas tentang pentingnya identitas agama di kalangan korban perempuan warga Syiah Sampang 2012. Para wanita ini datang untuk berdamai dan menanyakan yang terjadi dalam insiden itu, dan apa yang memotivasi kelompok Sunni melakukan kejahatan dan kebencian terhadap Syiah. Dalam wawancaranya, mereka berbicara tentang persepsi mereka tentang Islam, Sunni, Syiah, dan kewarganegaraan mereka. Penelitian ini juga mengeksplorasi bagaimana para wanita ini bertaubat dari Sunni ke Islam Syiah, dan keyakinan mereka saat ini tentang apa yang dianggap ‘benar’ Islam.

Berdasarkan wawancara dilakukan oleh penulis dengan sekelompok pengungsi perempuan syiah yang berciri-ciri muda dan dewasa di apartemen pemerintah Jemundo. Penelitian ini menunjukkan bahwa identitas agama (dan kewarganegaraan) dibangun oleh para wanita ini mengenai kepercayaan mereka tentang apa yang dianggap ‘kebenaran’ dan ‘benar’ tentang Islam, berdasarkan pada ‘tradisi Islam’ dari kyai lokal atau ustadz (guru agama Islam). Pengabdian mereka pada kepercayaan agama tidak datang dari siapa pun, hal itu murni dari pengalaman pribadi dengan mencari ‘Islam sejati’. Kesetiaan yang berulang dan ditegakkan kepada Syiah dalam ritual sehari-hari, seperti sholat subuh secara teratur dan sidang Kamis malam telah memengaruhi pembentukan identitas keagamaan perempuan Syiah.

Islam Indonesia didominasi Sunni, dengan Syi’isme hampir tidak ada. Di Sampang hanya ada dua organisasi Muslim yaitu Sunni, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Kedua institusi ini telah membimbing dan mempengaruhi umat Islam Indonesia sejak awal abad kesembilan belas. Muhammadiyah, yang didirikan di Yogyakarta, Jawa Tengah pada tahun 1912 diidentifikasikan sebagai seorang modernis atau reformis dengan lebih dari dua puluh juta pengikut. Pulau Madura memiliki sejarah konservatisme Islam. Mayoritas muslim di Madura mengidentifikasi dengan Sunni Ahlussunnah Waljamaah (Bahasa Inggris: ‘Penganut Sunnah dan komunitas’).

Para pengungsi perempuan Syiah Sampang telah menafsirkan kembali dan mempertanyakan identitas keagamaan dalam politik kontemporer Indonesia. Sebagai pengungsi, mereka tidak memiliki suara, dan tidak diakui oleh lembaga pemerintah. Meskipun perempuan ini telah berusaha menantang bentuk kemarginalannya dengan berusaha mencari pekerjaan dan mengakses pasar dan ruang publik untuk menemukan obat untuk anak-anak dan orang tua mereka. Upaya mereka dinilai hanya untuk memikul tanggung jawab sebagai pengganti kaum laki-laki yang telah lama dilumpuhkan oleh keadaan pasca-konflik. Beberapa wanita pengungsi Syiah ini menantang budaya patriarki dengan memilih keyakinan dan identitas mereka sendiri, meskipun mereka tidak selalu yakin dengan pilihannya. Beberapa dari wanita ini memeluk agama Syiah bukan sebagai hasil dari keinginan orang tua, seperti halnya dalam komunitas Muslim tradisional, tetapi karena pengaruh kyai atau ustadz, dan pesantren. Syi’isme bagi mereka ada di mana-mana, dan dengan demikian iman mereka menjadi sumber kekuatan dan dukungan doktrinal yang membantu mereka menghadapi perjuangan pasca-konflik.

Perempuan Syiah telah mencari keadilan dan pengakuan dari pemerintah daerah dan nasional untuk bertanggung jawab atas situasi tersebut. Namun, mereka belum menemukan jawaban yang jelas dan masa depan mereka pun tetap tidak pasti. Perempuan ini tidak hanya mengalami marginalisasi, namun pemerintah juga sepenuhnya mengabaikan keberadaan mereka dan ‘takdir’ sebagai warga negara di negaranya sendiri. Kebijakan pemerintah di tingkat mikro dan makro harus progresif untuk menangani kasus-kasus agama yang berkaitan dengan perempuan. Penelitian ini mempresentasikan kekuatan kemampuan perempuan dan hak agama mereka yang harus ditentukan dan diuraikan.

Penulis: Muhammad Saud

Informasi detail tentang penelitian ini dapat dilihat di:

https://link.springer.com/article/10.1007/s10943-020-01001-y

Rachmah Ida,  Muhammad Saud. 2020. The Narratives of Shia Madurese Displaced Women on Their Religious Identity and Gender Citizenship: A Study of Women and Shi’as in Indonesia. Journal of Religion and Health.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).