Perbudakan Maritim Masih Menghantui Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Ekonomi Bisnis.com

Seakan belum puas diperbudak oleh Belanda selama 350 tahun dengan kerja rodi dan 3,5 tahun oleh Jepang dengan romusha-nya, Indonesia justru kembali diwarnai dunia perbudakan diera milenial seperti saat ini. Agar lebih mudah, setelah ini akan saya sebut sebagai perbudakan maritim. Karena perbudakan kali ini memanfaatkan dan mengeksploitasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di kapal asing milik Cina.

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada Rabu (6/5), sosial media saya sempat ramai dengan kawan-kawan yang membagikan link youtube tentang isu viral terkait perbudakan maritim yang melibatkan TKI. Isu eksploitasi tenaga kerja itu awalnya diviralkan oleh seorang youtuber asal Korea Selatan yang fasih berbahasa Indonesia. Youtuber tersebut menjelaskan bahwa ada salah satu dari TKI tersebut yang melapor kepada pihak berwajib di Korea Selatan, lalu menceritakan kondisi perbudakan di atas kapal yang membawanya, serta kronologi terjadinya pembuangan TKI ke laut setelah meninggal.

Laporan tersebut ternyata ditanggapi serius, bahkan diinvestigasi oleh media nasional Korea Selatan. Hingga menghasilkan fakta yang mampu mengundang empati masyarakat, utamanya masyarakat Indonesia. Selain karena para pekerja itu berasal dari Indonesia, para TKI tersebut ternyata bekerja selama 18 jam per hari, bahkan mereka mengatakan pernah bekerja selama 30 jam dengan kondisi berdiri tanpa istirahat yang cukup. Bisa dibayangkan ?, seorang manusia bekerja berjam-jam, bahkan melebihi jumlah jam yang ada dalam satu hari.

Kapal tersebut juga menjadi saksi bisu atas kesenjangan sosial yang terjadi. Tenaga kerja asal Cina diperbolehkan meminum air tawar yang tersedia di kapal, namun tenaga kerja asal Indonesia tidak boleh sama sekali. Mereka akhirnya hanya bisa meminum air laut yang disuling atau air dari proses pembuangan air conditioner (AC). Permasalahan gaji juga akan membuat heran siapapun yang mengetahui kabar tersebut. Berdasarkan informasi dari korban, selama bekerja 13 bulan di atas kapal, 5 kru kapal tersebut hanya mendapatkan gaji sebesar 140.000 Won atau sekitar 1,7 juta Rupiah. Apabila dibagi kembali menjadi hitungan per bulan, maka pekerja tersebut hanya mendapat gaji sebesar 10.000 Won atau sekitar Rp. 135.350/bulan. Bahkan uang jajan bocah SMA pun lebih besar daripada TKI tersebut.

Pertanyaannya, “Mengapa mereka tidak resign atau melarikan diri saja ?,”.

Saya pribadi yakin, mereka juga menginginkan hal tersebut, namun keadaan berkata lain. Pada perjanjian awal, paspor mereka harus disita oleh pemilik kapal. Bahkan mereka juga harus menyerahkan uang deposit sebelum diizinkan bekerja di kapal tersebut. Itulah alasan para pekerja tersebut tidak mampu berbuat banyak. Hingga akhirnya TKI tersebut memilih lapor kepada pihak Korea Selatan karena kapten kapal dirasa telah keterlaluan. Dan yang paling menjadi sorotan ialah kasus pembuangan mayat TKI yang meninggal ke laut. Meskipun pembuangan mayat atau bahasa halusnya pelarungan mayat itu katanya telah memenuhi SOP, tapi hal tersebut tidak berlaku untuk keluarga korban. Keluarga korban tidak akan serta merta untuk rela melarung anggota keluarganya di laut, sebab budaya masyarakat Indonesia hanya mengenal pemakaman secara penguburan di dalam tanah atau kremasi. Mereka hanya berpikir ini adalah dunia nyata, bukanlah novel Laut Bercerita (karya Leila S.Chudori) yang diakhir ceritanya menenggelamkan aktivis secara hidup-hidup ke laut yang sebelumnya dimasukkan ke drum terlebih dahulu.

Beberapa pihak seperti Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan bahwa TKI tersebut terpaksa harus dilarung ke laut karena kemungkinan menderita penyakit menular yang dapat membahayakan kru kapal lainnya. Alasan tersebut sebenarnya masuk ke dalam logika. Tapi apakah logika bisa mematahkan rasa empati manusia ?. Seburuk-buruknya manusia yang meninggal, ia layak untuk sebisa mungkin dimakamkan di bawah tanah ataupun dikremasi, bukan dibuang ke laut. Bukannya masih ada banyak cara ?.

Meskipun dikabarkan kapal tersebut membuang mayat di perairan samudera Pasifik, apakah tidak bisa bersandar terlebih dahulu ?. Apakah biaya operasional kapal untuk bersandar menghapuskan berbagai cara untuk mengobati atau menguburkan seorang manusia dan memberi kabar ke keluarganya ?. Apabila memang terjangkit penyakit menular, mayat tersebut bisa dibungkus plastik kemudian dimasukkan ke box ikan dan ke pendingin kapal yang tersedia selama perjalanan ke darat. Tentunya dengan perlindungan alat medis bagi yang menanganinya, dan perusahaan pemilik kapal harus menanggung semua kebutuhan itu.

Selain itu, pemerintah juga bisa membantu dalam hal ini. Saya yakin, setiap kapal memiliki alat komunikasi. Jika memang terdapat kru kapal yang sakit atau meninggal dunia, pihak kapal sebetulnya bisa saja menghubungi otoritas negara terdekat untuk meminta bantuan. Kemudian negara terdekat itu bisa saja mengirimkan sebuah helikopter ke lokasi kapal untuk menjemput korban. Hal ini adalah permasalahan kemanusiaan, sudah seharusnya dunia internasional membahas hal-hal semacam ini. Lebih memprihatinkan lagi, ternyata perusahaan pemilik kapal juga telah melanggar perjanjiannya sendiri. Dalam perjanjian tertulis, jenazah kru yang meninggal akan dikremasi di darat dan abu jenazah dipulangkan ke rumah duka. Bahkan ahli waris juga diberi santunan sebesar 10.000 USD atau sekitar Rp. 150 juta. Tapi itu semua ternyata hanya janji manis belaka.

Saya berharap, pemerintah lebih peduli dengan para TKI. Recruiter TKI ilegal sudah seharusnya dibasmi, diganti dengan lembaga-lembaga resmi yang terdaftar dan sesuai standart. Lembaga tersebut juga seharusnya memberikan pelatihan terlebih dahulu sebelum memberangkatkan TKI, baik dari segi bahasa maupun kemampuan survive untuk berjaga-jaga. Serta yang paling penting, mampu menjaga hak-hak tenaga kerja asal Indonesia tersebut.

Semoga kasus tersebut bisa tuntas, dan pemerintah Indonesia lebih berinisiatif melindungi para TKI.

Penulis: Bastian Ragas

Berita Terkait

Bastian Ragas

Bastian Ragas

Kepala Departemen Informasi dan Relasi Publik KM PSDKU UNAIR Banyuwangi 2019 Mahasiswa Akuakultur PSDKU Universitas Airlangga Banyuwangi