Tanggapan Dosen Akuakultur UNAIR Banyuwangi dan Poltek KP Jembrana Terkait Kasus Eksploitasi ABK Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Himakua

UNAIR NEWS – Di tengah pandemi Covid-19 ini, Indonesia sempat digegerkan oleh berita adanya perlakuan tidak etis terhadap Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia di kapal penangkap ikan Long Xing 629 China. Berita yang dimuat oleh salah satu media korea tersebut, mencantumkan sebuah rekaman video yang menunjukkan proses pembuangan 3 ABK Indonesia ke laut sontak viral dan menuai banyak sekali respon negatif. Ditambah lagi dengan adanya kesaksian ABK bahwa terdapat tindakan tidak manusiawi mulai dari eksploitasi yang berlebih dari tenaga kerja, gaji yang miring hingga perlakuan diskriminatif yang didapat ABK Indonesia membuat kasus ini menjadi semakin membuat publik memanas.

Menanggapi hal tersebut, pada hari Minggu (17/05) Departemen Keilmuan Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) mengadakan kajian bertajuk Fisheries and Marine Issue dengan tema Eksploitasi ABK Indonesia Di Kapal Long Xing 629 China secara daring. Dalam kajian tersebut menghadirkan dosen akuakultur UNAIR Banyuwangi Suciyono, S.St., Pi., MP. dan Muh Arkam Aziz, S.Pi,M.Si selaku dosen  Poltek KP Jembrana Bali sebagai narasumber.

Dalam kesempatan tersebut, Suciyono menjelaskan bahwa terkait dengan padatnya jam kerja dengan waktu istirahat yang singkat serta perelungan jenazah saat di tengah laut merupakan hal yang lumrah dalam kapal penangkapan ikan. Namun, yang perlu disoroti adalah terkait dengan regulasi pemerintah yang mengatur rekruitmen ABK dan perizinan kapal.  Sehingga, hak dari ABK dapat terjamin dan tidak terjadi adanya perlakuan diskriminatif dari pihak kapal.

“Untuk jam kerja yang padat memang hal yang lumrah dalam kapal penangkap ikan sehingga SDM nya di tuntut untuk tahan banting,” jelasnya.

Sedangkan, untuk pelerungan jenazah di tengah laut, sambung Suciyono, pun juga sudah ada peraturannya, itu tergantung bagaimana perjanjian awal saat rekruitmen. Namun, tambah Suciyono, yang perlu disoroti adalah terkait dengan perjanjian saat rekruitmen dan legal formil dari kapal, bagaimana fasilitasnya, berapa gajinya dan bagaimana jaminan keselamatnya semua harus jelas.

“Selain itu, regulasi pemerintah kepada lembaga atau mitra yang terkait dalam rekruitmen juga harus selektif dan ketat dalam penyaluran ABK maupun bermitra dengan perusahaan asing yang terkait sehingga kasus seperti ini tidak terjadi lagi,” paparnya.

Terkait dengan tindakan tidak manusiawi yang didapat ABK Indonesia, Arkam, dalam kesempatan tersebut menjelaskan bahwa kasus tersebut bukan hal baru dalam dunia penangkapan ikan. Ada banyak faktor seperti rendahnya kualitas SDM serta tingkat stress yang tinggi saat dikapal dapat mendorong terjadinya hal tersebut.

Oleh karena itu, tandasnya, diperlukan beberapa skill sebelum terjun ke dunia penangkapan ikan seperti kesiapan fisik dan mental, sertifikat kompetensi, pengetahuan terkait  kapal yang akan dinaiki dan pihak perekruit dan perjanjian yang jelas.

“Kasus ini bukan hal baru dalam sektor penangkapan ikan, SDM yang kurang mumpuni ditambah stress karena beban kerja membuat hal seperti ini sering terjadi,” jelas Arkam.

Selanjutnya, ia juga memaparkan bahwa sebelum masuk ke dunia penangkapan harus memiliki beberapa kompetensi sehingga ABK bisa siap dan tidak di rendahkan.

Pratiwi Dwi Rahmawati selaku penanggung jawab mengungkapkan bahwa Fisheries and Marine Issue merupakan program baru yang harapanya dapat meniciptakan iklim kritis dan kepekaan mahasiswa Akuakultur UNAIR Banyuwangi terhadap isu perikanan.

”Ini program baru yang harapanya dapat meningkatkan kepekaan mahasiswa akuakultur terhadap isu-isu di dunia perikanan,” tutup Pratiwi saat di wawancarai tim UNAIR NEWS pada Senin (19/05) kemarin.

Penulis: Ivan Syahrial Abidin

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).