Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA di tingkat SMA, Siswa Bisa Apa?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Pencegahan penggunaan Napza di sekolah. (Sumber: Republika)

Dunia sedang menangis, kita seakan dikepung dengan banyak permasalahan. Permasalahan penyalahgunaan NAPZA kini seakan sudah menjadi monster yang siap menghancurkan kita, permasalahan ini sudah masuk pada berbagai kalangan usia, dan juga tidak mengenal gender.  Tahun 2016, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang merupakan badan PBB yang mengurusi narkotika dan obat-obatan melaporkan bahwa 5% dari total populasi dunia pernah mencoba NAPZA. Melihat angka ini tentu membuat kita miris melihat keadaan dunia remaja saat ini.

Permasalahan besar ini juga melanda daerah ASEAN. Peningkatan penyalahgunaan Napza juga terjadi di beberapa Negara ASEAN utamanya Indonesia. Dari 100% transaksi narkotika di wilayah ASEAN, 40% berada di Indonesia. Remaja ditempatkan pada tempat yang sangat rentan untuk tergoda dalam penyalahgunaan NAPZA.

NAPZA merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif. Di dalam kelompok tersebut dapat diartikan sebagai zat atau bahan yang apabila masuk ke dalam tubuh akan membawa efek buruk terhadap tubuh terutama pada susunan syaraf pusat sehingga menyebabkan gangguan fisik, psikis dan sosial. NAPZA yang masuk ke dalam tubuh dapat mengakibatkan keadaan yang merugikan bagi penggunanya.

Keadaan yang tidak menguntungkan ini akan mengubah keadaan psikologi seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku. Banyak pengguna yang merasa depresi dan merasa kesepian ketika mereka mulai menggunakan dan mereka mencari solusi dengan menggunakan kembali. Hal ini seperti sebuah lingkaran setan yang tidak berujung yang membuat kita bingng dari mana kita akan memulai perang melawan penyalahgunaan NAPZA ini.

Kelompok usia yang paling banyak mendapatkan tentangan adalah kelompok remaja. Remaja merupakan kelompok usia yang memiliki naluri yang tinggi untuk mencoba hal baru. Remaja cenderung lebih mempercayai teman atau kelompok sebaya dilingkungannya mereka akan merasa lebih nyaman dan terbuka untuk menceritakan permasalahannya kepada teman sebaya daripada orang tua, guru dan lain sebagainya. Untuk memperkuat hal itu salah satu program pemerintah untuk remaja yang bagus untuk dijalankan disetiap sekolah adalah program peer-educator/ peer- conseling.

Peer-educator atau pendidik sebaya adalah suatu kegiatan yang dilakukan dari remaja, untuk remaja, dan oleh remaja. Metode ini secara sederhana menggunakan teman sebaya/seusia sebagai konselor/pendidik untuk membantu teman lainnya agar dapat mengambil keputusan sendiri atas permasalahan yang dihadapinya. Remaja sebagai pendidik sebaya diharapkan mampu menyebarkan informasi secara kreatif sehingga dapat menarik perhatian dan minat teman sebayanya. Untuk mengoptimalkan keterampilannya, pendidik sebaya seyogyanya mulai melatih diri dengan menyebarkan informasi kesehatan reproduksi dalam kelompok kecil (tidak lebih dari 12 orang).

Pelaksanaan Program Peer-Educator pada tingkat SMA tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Peer-Educator atau biasa disebut konselor sebaya beberapa tahun ini tidak berjalan dengan lancar karena adanya perubahan kebijakan. Adanya perubahan kebijakan mengenai kewenangan yang telah diatur pada Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 membuat beberapa kegiatan atau program yang sebelumnya sudah dilakukan menjadi tidak berjalan lagi.

Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, disebutkan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pendidikan setingkat SD. Sedangkan pemerintah provinsi bertanggung jawab atas pendidikan setingkat SMA/SMK. Semenjak ini, program peer educator di SMA/SMK tidak lagi diwajibkan. Meski begitu, beberapa sekolah masih menjalankan program peer educator karena antusias dari siswa SMA/SMK di Surabaya.

Persepsi siswa sebagai peer educator dapat dikaji lebih jelas dalam artikel yang berjudul “Perception of Roles as Peer Educators in High Schools to Prevent Drug Abuse among Adolescents”. Metode kualitatif yang digunakan dalam studi artikel ini dapat mengidentifikasi secara gamblang “siswa bisa apa” dalam upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA di tingkat SMA/SMK.

Artikel ini menjabarkan persepsi siswa sebagai peer educator di sekolah adalah sebagai tempat sharing informasi rahasia, motivator, sumber informasi, dan partner diskusi. Artinya, siswa yang menjadi peer educator merasa dipercaya oleh teman-temannya untuk menjadi tempat curhat dan berbagi informasi. Hal ini disebabkan remaja cenderung lebih nyaman untuk berbagi masalah yang dialaminya pada teman sebayanya.

Siswa peer educator diharapkan bisa memposisikan diri untuk menjadi role model bagi teman sebayanya. Selain itu, siswa peer educator juga merupakan pendengar yang baik dan lebih peduli dengan temannya sehingga teman-temannya dapat dengan mudah curhat pada siswa peer educator mengenai kejadian ataupun permasalahan yang dialaminya. Jika dirasa masalah yang dialami oleh temannya cukup berat dan butuh solusi dari profesional maka siswa akan meneruskan informasi tersebut ke Guru BK selaku pihak yang memantau perkembangan perilaku siswa dalam upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA.

Siswa peer educator juga berperan untuk mengajak teman-temannya mengikuti kegiatan penyuluhan tentang NAPZA yang diadakan oleh BNN, Kepolisian, Puskesmas, LSM,  Dinas Kesehatan dan MAPANZA Unair (Mahasiswa Peduli Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA Universitas Airlangga). (*)

Penulis: Ira Nurmala Artikel dapat diakses melalui link berikut:

http://www.ijfmt.com/issues.html

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).