Pakar UNAIR : Hak Tersangka Kejahatan Juga Wajib Dilindungi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
AMIRA Paripurna (kanan) dosen hukum pidana, krimonologi, dan viktomologi Fakultas Hukum UNAIR. (Dok. Pribadi)

UNAIR NEWS – Bebeberapa waktu lalu, situs media sosial ramai memperbincangkan tentang kasus perundungan, salah satu vloger yang telah melakukan penipuan dengan membagikan sembako berisi sampah. Banyak video perundungan terhadap tersangka di tahanan viral, serta menimbulkan banyak pro dan kontra para pengguna media sosial.

Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Amira Paripurna S.H., LL.M., PhD., menyayangkan terjadinya peristiwa perundungan terhadap tersangka. Ia menyampaikan bahwa setiap tersangka kejahatan memilki hak-hak yang tetap wajib dilindungi dan dijamin oleh negara, termasuk hak-hak di dalam tahanan.

“Negara tetap perlu mengambil langkah tegas dalam menjamin hak-hak tersangka di dalam tahanan,” ungkap Amira.

Amira menyebutkan bahwa peristiwa kekerasan dalam rutan atau lapas masih sering terjadi. Namun sering terjadi pula pembiaran atas hal tersebut.

Pembiaran yang dilakukan oleh pihak berwajib telah melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, yang diatur dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik (UU No. 12 tahun 2005) dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam (UU. 5 tahun 1998). Hal ini menunjukkan bahwa negara, dalam hal ini aparat penegak hukum, telah abai terhadap perlindungan hak-hak tersangka dan menunjukkan pula lemahnya pengawasan dalam mencegah terjadinya tindakan melanggar hukum di dalam rutan atau lapas.

“Kekerasan fisik adalah yang paling sering terjadi. Namun, prinsip persamaan di hadapan hukum dan praduga tak bersalah seringkali terabaikan,” ujarnya.

Seorang yang masih dalam status tersangka dan menjalani proses penahanan dalam rutan, berhak untuk bebas dari perlakuan intimidasi, tekanan, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik, maupun dilecehkan secara seksual. Jika perundungan masih banyak terjadi, maka akan dapat mempengaruhi psikologis tersangka ataupun tahanan.

“Peristiwa ini tidak saja memperlihatkan pada kita semua buruknya pengawasan dan pengendalian dalam sistem penahanan di institusi penegak hukum,” terangnya.

Amira juga memaparkan, jika memang fakta atas pembiaran terjadinya penganiayaan atau tindakan kekerasan yang dialami oleh petugas tahanan, maka petugas tersebut juga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas penganiayaan yang terjadi.

Perlu ada tindakan tegas anggota kepolisian yang bertanggungjawab atas pembiaran terjadinya tindakan merendahkan martabat tersebut. Mengungkap keterlibatan setiap pihak yang melakukan kekerasan, memerintah, atau bahkan membiarkan peristiwa.

Ia menegaskan bahwa peristiwa pembiaran terhadap tersangka yang berada di dalam tempat penahanan tidak boleh terjadi lagi atas alasan apapun. Penegakan hukum yang memenuhi due process dan menghindari tindak kekerasan harus benar-benar dijamin oleh negara.

“Seharusnya pula aparat penegak hukum juga berfokus pada bagaimana memulihkan hak korban, dalam hal ini transpuan (dari kasus prank yang dilakukan oleh FP, Red),” pungkasnya. (*)

Penulis : Ulfah Mu’amarotul Hikmah

Editor : Binti Q Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).