Diskriminasi Pendidikan pada Perempuan Pesisir Madura

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Diskriminasi Pendidikan pada Perempuan Pesisir Madura. (Sumber: NU Online)

Indonesia merupakan daerah kepulauan yang disekelilingnya ada hamparan lautan yang memiliki kekayaan laut yang luar biasa. Namun keadaan ini berbanding terbalik dengan kondisi komunitas pesisir, nelayan yang umumnya miskin dan anak-anaknya masih memiliki tingkat pendidikan yang rendah, sehingga kesulitan menemukan pekerjaan alternatif. Keadaan ini merupakan hambatan bagi pengembangan pendidikan di wilayah pesisir.

Nelayan masih berpikir dapat bertahan hidup tanpa pendidikan. Komunitas pesisir masih berpikir akan menjadi kaya ketika bisa menangkap ikan sebanyak mungkin. Komunitas nelayan berpendapat bahwa hal terpenting yang  dibutuhkan adalah makanan, sehingga tidak mengherankan jika mengabaikan pemenuhan kebutuhan pengembangan diri lainnya.

Berbagai penelitian dalam literatur menunjukkan bahwa citra, peran, dan status wanita telah diciptakan oleh budaya menyeluruh. Hal ini juga terjadi di budaya pesisir, Perempuan masih dianggap sebagai kelas dua yang keberadaannya sering diabaikan. Implikasi dari konsep dan akal sehat tentang posisi mereka yang tidak seimbang telah menjadi kekuatan dalam pemisahan sektor kehidupan menjadi sektor domestik dan sektor publik.

Perempuan harus mengambil bagian dalam sektor domestik sedangkan laki-laki ditempatkan di sektor publik. Perempuan digambarkan secara seksama dengan seksisme dan memberikan peran sebagai pemeliharaan anak. Ketidaksetaraan jender membentuk struktur hubungan produksi dan reproduksi di berbagai kelas. Ideologi ini dianggap sebagai dasar penindasan perempuan karena menciptakan karakter feminin dan inklusi yang melestarikan patriarki dan menghasilkan dominasi laki-laki.

Misalnya, laki-laki memiliki peran utama sebagai pencari nafkah rumah tangga sementara pada saat yang sama, laki-laki memainkan peran penting dalam menciptakan reproduksi pekerjaan yang tidak dibayar di ruang rumah tangga. Ini umumnya dikaitkan dengan fungsi biologis wanita sebagai penjaga keluarga. Keadaan ini mengakibatkan banyak munculnya pernikahan usia dini pada anak perempuan pesisir. Ideologi semacam ini telah didukung oleh berbagai institusi sosial yang kemudian menjadi fakta sosial tentang status dan peran yang dimainkan oleh perempuan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mewawancarai 70 informan yang terdiri dari anak perempuan putus sekolah, orang tua dari anak perempuan yang putus sekolah, guru, dan tokoh masyarakat yang tinggal di daerah pesisir Madura.

Budaya Patriarkhi, Perilaku Beragama, dan Kemiskinan

Dalam budaya Madura, konsep gender untuk perempuan selalu dikaitkan dengan peran domestik. Perempuan Madura mengalami tekanan budaya dan struktural terkait kesetaraan gender, terutama bagi perempuan yang berasal dari keluarga miskin. Budaya patriarkhi diperkuat melalui dogma agama dan telah menjadi cara hidup dan kode etik. Salah satu fakta yang terjadi adalah pendidikan perempuan di komunitas pesisir menunjukkan bahwa aktivitas komunitas pesisir dipisahkan berdasarkan gender.

Informan mengakui bahwa perempuan hanya memiliki pendidikan yang pendek karena menikah, tidak akan ada kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Orang tua menarik anak-anak perempuannya dari sekolah untuk mengurus urusan rumah tangga. Informan juga menjelaskan bahwa tidak perlu menyediakan pendidikan tinggi untuk anak-anaknya, terutama perempuan, karena anak perempuan yang mengabdikan diri kepada orang tua mereka mematuhi keputusan orang tua dan berarti juga menjalankan anjuran Agama.

Pernikahan dini ketika gadis itu di bawah 17 tahun masih sering terjadi. Para informan menjelaskan bahwa pendidikan tidak penting bagi perempuan karena mereka masih percaya bahwa tidak ada arti di balik mendidik anak perempuan untuk mencapai pendidikan setinggi mungkin, karena pada akhirnya akan kembali ke pekerjaan rumah.

Upaya untuk memperkenalkan kesetaraan dan pengarusutamaan gender masih menghadapi banyak kesenjangan mengenai pengetahuan di masyarakat nelayan (pesisir). Diskriminasi pendidikan yang dihadapi oleh para perempuan pesisir tersebut berkait dengan Budaya Madura yang tergolong patriarkhi, kemiskinan yang diderita nelayan dan kurangnya pemahaman keagamaan tentang posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat.

Model pemberdayaan yang relevan di masyarakat pesisir terkait dengan ketidaksetaraan gender dalam pendidikan. Ini bisa dimulai dengan merekonstruksi pemikiran masyarakat pesisir tentang gender melalui lembaga sosial-keagamaan yang ada, baik formal maupun informal. Selain itu, harus ada pemberdayaan ekonomi keluarga pesisir. Dengan demikian, anak perempuan tidak lagi menjadi korban yang harus menanggung beban ekonomi keluarga dengan putus sekolah atau memasuki pernikahan dini. Perempuan pesisir tidak hanya mengalami tekanan budaya karena budaya patriarkal tetapi mereka juga mengalami tekanan struktural, karena sebagian besar berasal dari keluarga miskin. (*)

Penulis: Sudarso

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://vc.bridgew.edu/jiws/vol20/iss9/2

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).